Sabtu, 27 Juli 2024

Desentralisasi Fiskal 2.0, Menjawab Pekerjaan Rumah Otonomi Daerah

Dosen Ekonomi Pembangunan pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Sayifullah. (Foto: TitikNOL)
Dosen Ekonomi Pembangunan pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Sayifullah. (Foto: TitikNOL)

TitikNOL - Pemerintah bersama dengan DPR telah merampungkan Rancangan Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD) dan menetapkannya menjadi Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) di tahun 2022.

UU HKPD ini menandai babak baru otonomi daerah di Indonesia (Desentralisasi Fiskal Era 2.0).

UU HKPD semangatnya untuk memperbaiki kualitas dan memperkuat desentralisasi fiskal pemerintah daerah khususnya dari sisi pendapatannya, disamping juga memperbaiki pada sisi belanjanya.

Rampungnya UU HKPD yang telah disahkan ini tidak lepas dari hasil evaluasi dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Selama ini daerah-daerah di Indonesia, berdasarkan hasil evaluasi desentralisasi fiskal, masih minim dalam optimalisasi pendapatan asli daerahnya, sedangkan di sisi belanjanya belum maksimal kualitasnya bagi pembangunan.

Daerah-daerah di Indonesia selama ini masih sangat bergantung dari transfer keuangan pemerintah pusat.

Total pendapatan APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp1.115,4 triliun, dikontribusikan masing-masing dari Dana Perimbangan (transfer dari pusat ke daerah) sebesar 67,45 persen, Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 23,67 persen dan pendapatan lain-lain sebesar 8,9 persen.

Pada belanja APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp1.121,9 triliun, digunakan untuk belanja pegawai sebesar 33,27 persen, belanja barang dan jasa sebesar 24,50 persen, belanja modal sebesar 14,04 persen dan belanja lain-lain sebesar 28,17 persen.

Berdasar pada data APBD agregat, tampak jelas bahwa selama dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, daerah-daerah masih minim dalam memperoleh pendapatan asli daerahnya.

Sementara itu pada sisi belanjanya, belanja pegawai masih mendominasi pengeluaran pemerintah daerah, dibanding belanja modal dan belanja lain yang mengarah pada program-program pembangunan dan layanan publik bagi masyarakat.

Bila melihat sisi lain hasil pelaksanaan desentralisasi fiskal selama dua puluh tahun, di luar masih minimnya rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah dan minimnya kualitas belanja daerah, terdapat beberapa hasil kinerja positif dari desentralisasi fiskal di Indonesia.

Kinerja positif ikut berkontribusi terhadap pencapaian kinerja nasional, khususnya pada capaian layanan publik dasar dan kesejahteraan.

Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni SMP dan SMA di tahun 2020 adalah sebesar 80,12 persen dan 61,25 persen, telah meningkat dari 66,90 persen dan 44,84 persen di tahun 2001.

Di bidang kesehatan, persalinan yang melibatkan tenaga kesehatan naik dari 64,20 persen di tahun 2001 menjadi 95,16 persen di tahun 2020.

Berkaitan dengan infrastruktur dasar, masyarakat yang memanfaatkan air minum layak dan sanitasi telah mencapai 90,21 persen dan 79,53 persen di tahun 2020, telah meningkat dari 48,68 persen dan 34,30 persen di tahun 2001.

Pada bidang kesejahteraan, yaitu persentase penduduk miskin dan angka IPM, pada tahun 2020 menunjukkan angka sebesar 10,19 persen dan 71,94, telah lebih baik dibandingkan angka tahun 2001 yaitu sebesar 18,41 persen dan 60,9 persen.

Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, beberapa catatan positif juga bisa kita lihat melalui beberapa hal terkait pengelolaan keuangan daerah.

Kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah menunjukkan tren yang semakin berkurang sebagaimana terlihat dari angka theil index sebesar 0,223 di tahun 2019 dari 0,332 di tahun 2016.

Rasio pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) terhadap PDRB telah meningkat dari 1,35 di tahun 2016 menjadi 1,42 di tahun 2019.

Pengelolaan adminitrasi keuangan daerah semakin baik dengan semakin banyaknya daerah yang memperoleh predikat WTP yaitu meningkat dari 69,7 persen di tahun 2016 menjadi 89,5 persen di tahun 2019.

Meskipun telah menunjukkan beberapa hasil kinerja yang positif, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan.

Daerah-daerah di Indonesia saat ini masih banyak yang bergantung pada transfer dari pemerintah pusat dan hal ini terlihat dari masih besarnya rasio TKDD (67,45 persen) terhadap penerimaan daerah.

Besarnya TKDD ini juga dalam pemanfaatannya, khususnya DAU, lebih dari 60 persen digunakan untuk belanja pegawai.

Pada sisi struktur belanja daerah, belanja untuk infrastruktur (11,5 persen) masih lebih rendah dibanding belanja pegawai (33,27 persen).

Program dan kegiatan yang dirancang dalam belanja daerah juga sangat banyak. Sampai dengan saat ini terdapat 29.623 program dan 263.135 kegiatan pada belanja daerah.

Belanja daerah yang sangat banyak ini terkesan belum fokus guna mencapai sasaran pembangunan di daerah. Pembiayaan yang dilakukan oleh daerah juga masih sangat terbatas.

Total pembiayaan daerah yang dilakukan melalui pinjaman daerah angkanya baru mencapai 0,049 persen dari PDB.

Angka ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pinjaman daerah yang dilakukan negara-negara berkembang yang lain (5 persen).

Tantangan yang lain adalah dijumpainya fiskal pemerintah pusat dan daerah yang belum sinergis.

UU HKPD telah disahkan dan diharapkan dapat menjawab tantangan yang selama ini menjadi catatan pelaksanaan dua dekade desentralisasi fiskal di Indonesia.

Daerah-daerah di Indonesia, khususnya pada level kabupaten kota, local taxing power semakin diperkuat melalui skema opsen pajak (tambahan pajak) pada UU yang baru ini, dimana daerah diperkirakan akan memperoleh peningkatan Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah sampai dengan 48,9 persen.

Pada sisi belanja, daerah berkewajiban untuk membuat belanja pegawai dengan batasan maksimal 30 persen dan belanja infrastruktur ditetapkan dengan batasan minimal 40 persen dari APBD.

Mandatory ini diharapkan akan mewujudkan belanja yang berkualitas dengan disertai simplikasi program dan kegiatan berdasarkan target kinerja dan skala prioritas.

Guna memperoleh penerimaan daerah dari sumber pembiayaan daerah, UU HKPD memberikan perluasan skema dan bentuk pembiayaan, termasuk adanya sinergi pendanaan dan dana abadi daerah.

Daerah dapat melakukan pembiayaan daerah dalam skema pinjaman, obligasi dan sukuk, baik berbentuk konvensional atau syariah.

Sinergi pendanaan dengan berbasis kerjasama dapat dilakukan, baik yang berasal dari APBD atau Non-APBD.

Melalui HKPD, daerah juga dapat melakukan pembentukan dana abadi daerah, khususnya bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi dan pemenuhan kualitas layanan publiknya sudah relatif baik.

Tujuan pembentukan dana abadi daerah adalah untuk memperoleh kemanfaatan umum yang lebih luas dan lintas generasi.
Sinergi fiskal nasional dilakukan dengan menyelaraskan kebijakan fiskal pusat-daerah.

Pemerintah daerah mensinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal daerahnya dengan rencana pembangunan jangka menengah, rencana kerja pemerintah, kerangka ekonomi makro, pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan presiden dan peraturan perundang-undangan.

UU HKPD ini paling tidak baru efektif implementasinya dalam tahun kedua sejak berlaku, khususnya bagi pemerintah daerah.

UU ini perlu ditindaklanjuti dengan aturan turunan di bawahnya, termasuk dalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda) serta masa transisi penyesuaian.

Dampak dari UU HKPD secara keseluruhan, akan terlihat setidaknya dalam lima tahun ke depan, sehingga pembangunan daerah yang baik dalam babak baru desentralisasi fiskal dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. (Sayifullah/Dosen Ekonomi Pembangunan pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)

Komentar