Sabtu, 23 November 2024

Bank Banten, Pertanyaan dari Tujuan Otonomi Daerah

Ilustrasi. (Dok: Gatra)
Ilustrasi. (Dok: Gatra)

Oleh: Sulaiman Djaya, pekerja budaya di Kubah Budaya

Belum lama ini ada isu hangat mengenai Bank Pembangunan Daerah Banten atau Bank Banten. Hal itu menyusul setelah terbit surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait optimalisasi perbankan daerah.

Terlepas dari perjalanan panjang Bank Banten, dalam tulisan ini saya mencoba menarik konteks Bank Banten dalam bingkai otonomi daerah lepasnya Provinsi Banten dari Jawa Barat. Dalam konteks itu, lahirnya Provinsi Banten bukan semata harus mandiri mengelola pemerintahan dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya. Konsekuensi lain yakni Banten harus memiliki kemandirian ekonomi untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Jika merefleksi dari perjalanan Banten, kemandirian pemerintahan dan kemandirian ekonomi menjadi pengetahuan yang umum di bumi Kesultanan ini. Ada daya tawar sejarah kenapa Banten unik dan istimewa. Tentu yang paling utama adalah karena kiprah Kesultanan Banten, semisal sebagai kesultanan satu-satunya di Nusantara yang mengutus dubesnya ke Eropa, Inggris, dan menonton teater Shakespeare, yang berarti pula dubes pertama dari Indonesia untuk Eropa.

Itulah kenapa dulu Sjafrudin Prawiranegara yang merupakan Gubernur Bank Indonesia (dari 1952 hingga 1958) bersama Mohammad Hatta, meresmikan Bank Banten, tak lain karena menghendaki agar Banten tidak terputus kejayaan dan keberdayaan-kemandiriannya. Peresmian Bank Banten itupun dilaporkan Java Bode, dan Bank Banten sendiri resmi dibuka di Pandgelang pada Senin 8 September 1957.

Adapun tentang Sjafrudin Prawiranegara, di situs resmi Bank Indonesia, diterangkan: “Sjafruddin Prawiranegara adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa-masa akhir (1951-1953). Ia pula yang sekaligus menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama (1953-1958) sebagai hasil dari nasionalisasi DJB. Sebelumnya, posisi nomor satu di DJB (1828 – 1951) selalu dijabat oleh orang berkebangsaan Belanda. Salah satu yang menonjol di masa kepemimpinannya adalah keteguhannya dalam menjalankan fungsi utama bank sentral sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah serta pengelolaan moneter.”

Tokoh-tokoh penting nasional Indonesia, semisal Menteri Negara Urusan Veteran Dahlan Ibrahim dan KASAD Mayjen Abdul Haris Nasution yang menghadiri peresmian Bank Banten yang kala itu merupakan inisiatif para veteran di bawah kepemimpinan Raden Sahra Sastrakusuma tentu karena sangat menghargai peran dan jasa masyarakat Banten bagi lahirnya nasion Indonesia, tempat lahirnya spirit perlawanan dan perjuangan meraih kemerdekaan, dari para pejuang perang-perang klasik Banten melawan Eropa di masa Kesultanan Banten hingga perjuangan dan perlawanan-perlawanan rakyat Banten semisal Geger Cilegon.

Etos historis itulah yang seharusnya tidak boleh hilang dan luntur dalam konteks Banten hari ini. Sebab, diantara salah-satu maksud sebagaimana diinginkan Sjafrudin Prawiranegara dan Mohammad Hatta ketika meresmikan Bank Banten pada era 1950-an itu adalah agar Bank Banten bisa memberdayakan dan memajukan kesejahteraan masyarakat Banten. Perlu diingat, Sjafrudin Prawiranegara dan Mohammad Hatta sendiri adalah penganut paham dan ideologi ekonomi kerakyatan, di mana lembaga-lembaga resmi pemerintah sudah seharusnya membela dan mendukung usaha-usaha ekonomi rakyat yang akan menjadi pemantik bagi lahirnya kemandirian dan keberdayaan dalam masyarakat, bisa meningkatkan penguatan SDM dan yang akhirnya bisa menghadirkan kebahagiaan dalam masyarakat.

Sayangnya, sekedar kilas balik historis, setelah peresmian di tahun 1957 itu, Bank Banten tidak aktif. Barangkali kisruh politik di Indonesia di masa-masa itu diantara yang menjadi faktor kematiannya. Bank Banten yang saat ini beroperasi pada mulanya diluncurkan secara simbolik oleh Gubernur Banten saat itu, Rano Karno, pada 4 Oktober 2016, di kawasan Kesultanan Banten, Kota Serang, dan peluncurannya sendiri dilakukan di bekas bangunan Bank Banten pertama kali berdiri, yakni tahun 1950, yang kini menjadi Gedung Joang '45 di Jalan Bank Banten, Kabupaten Pandeglang, Banten. Meski pada proses berdirinya kembali, Bank Banten ini sempat dicederai kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pada 1 Desember 2015 di Restoran Istana Nelayan, Serpong, Tangerang.

Tentu saja, sebagai bank pemerintah daerah, keberadaan Bank Banten akan sangat terkait dengan sehat dan baiknya birokrasi dan kinerja pemerintah daerah itu sendiri, yang dalam hal ini Banten. Singkatnya, good governance Banten perlu terus ditingkatkan, selain niscayanya manajemen yang sehat dari pihak Bank Banten itu sendiri.

Sebagai badan yang seyogyanya akuntabel dan dapat dipercaya publik, Bank Banten sudah semestinya bebas dari interest jabatan politik jangka pendek, demi menghindari konflik kepentingan sepihak yang tidak merepresentasikan kepentingan seluruh penerima manfaat keberadaannya. Terlebih Banten sendiri dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi ekonomi yang sangat berlimpah.

Bank Indonesia, contohnya, menyatakan bahwa potensi ekonomi di Banten hampir ada di setiap sektor dan bidang, dari sektor industri, jasa hingga pertanian. Meski demikian, tentu dibutuhkan kreativitas dan inovasi untuk semakin memajukan potensi-potensi tersebut. Apalagi dengan isu dan program hilirisasi presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang diharapkan bisa menggandakan pendapatan dan pemasukan ekonomi karena keuntungan ganda dengan semakin banyak meproduksi dan menjual komoditas jadi. Tuntutan adaptif dan inovatif seperti inilah yang juga harus dipikirkan dan direspon Bank Banten sembari terus meningkatkan kapabilitas atau kinerjanya.

Singkatnya, Banten memang telah lepas dari Jawa Barat sebagai provinsi yang mandiri. Namun jika berkaca pada birokrasi dan tata kelola keuangan daerah, Banten masih terkungkung dari Jawa Barat karena Rekening dan Kas Umum Daerah (RKUD) masih dikuasai sebagaian besar oleh Bank BJB yang merupakan bank plat merah Pemerintah Jawa Barat. Artinya Banten dari sisi ini belum sepenuhnya mandiri. Momentum ini perlu menjadi perhatian dan refleksi bersama untuk menjawab cita-cita otonomi daerah Banten sebagai provinsi.

Jika melihat catatan, dua bank plat merah ini punya rekam jejak fraud yang sama. Terbaru Bank BJB juga berulang kali diterpa oleh kasus kredit fiktif baik di wilayah Tangerang maupun di wilayah Pandeglang. Dana KPR Bank BJB juga bermasalah karena kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp8,1 miliar.

Di sisi lain bank Banten kini sudah lepas dari PT Banten Global Development (BGD). Bang Banten mencoba untuk lebih profesional dengan tidak menjadi core bisnis sebuah BUMD yang kurang baik track recordnya. Tinggal jajaran direksi Bank Banten harus meyakinkan publik bahwa menyimpan uang di bank Banten dijamin keamanannya. Sementara Pemprov Banten dan Pemerintah kabupaten kota lain mendukung dengan pemindahan RKUD ke Bank Banten secara bertahap. Itu bisa dilakukan untuk membuktikan bahwa Banten betul-betul telah mandiri secara ekonomi dan sebagai sebuah pemerintahan.

Komentar