TitikNOL - Tak lama lagi, internet Tanah Air akan kedatangan 'polisi' yang tugasnya menyaring dan memberantas konten negatif yang marak beredar.
Polisi itu bernama mesin sensor besutan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ya, pada awal Januari 2018, mesin sensor yang sempat ditakutkan pengguna lantaran ditengarai sebagai mesin penyadap ini, resmi beroperasi.
Sebelumnya, sudah dilakukan uji coba pada November 2017 lalu, di mana hasilnya mesin ini diklaim mampu melakukan crawling 10 kali lebih cepat dalam mendeteksi konten negatif. Crawling artinya mesin tersebut akan menganalisa secara otomatis sesuai kriteria konten negatif yang ditetapkan.
Terlebih, dengan tambahan kecerdasan buatan atau artifical intelligence (AI), cara kerja mesin sensor internet ini akan serba-otomatis.
Hal ini sangat berbeda dengan pendeteksian konten negatif terdahulu yang diproses secara manual dengan sistem ticketing melalui situs Trust Positif.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan, tahun depan, fokus utama kerja mesin sensor internet Indonesia adalah memberantas pornografi dan judi serta hoaks (berita palsu).
Menurut Semuel, konten negatif yang dilaporkan masyarakat ke Kominfo hampir mencapai 800 ribu. Rinciannya, 700 ribu didominasi oleh aduan konten pornografi dan judi, serta lainnya seperti hoaks, ujaran kebencian, terorisme dan obat-obatan terlarang (narkoba).
"Dengan mesin sensor, Kominfo memasang target 30 juta konten pornografi bisa langsung dihapus dari internet Indonesia," kata Sammy, sapaan akrabnya, dalam 'Diskusi Bareng Jurnalis dengan Dirjen Aptika Kominfo', Senin, 18 Desember 2017.
Adapun jenis konten negatif yang akan disaring merujuk pada Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya dasar hukumnya di Pasal 2 dan Pasal 40 (2).
Ia juga menegaskan bahwa mesin sensor bukan mesin penyadap penggunaan internet yang memakai sistem Deep Packet Inspection (DPI). Salah satu realisasi DPI adalah pemantauan atau surveillance dan pemblokiran.
Sistem tersebut diterapkan di router untuk memantau aliran data secara real-time dan melakukan tindakan atas aliran tersebut, sehingga dikhawatirkan bakal menggerus privasi pengguna internet di Indonesia.
Beda dengan AS dan China
"Crawling adalah sistem yang digunakan secara jamak di Indonesia. Analisa media sosial juga mekanismenya crawling. Kita tidak pakai sistem DPI seperti yang diterapkan di Amerika," ungkapnya.
Sebagai informasi, mekanisme ini dipakai pemerintah Amerika Serikat (AS), yang bekerja sama dengan badan keamanan nasional (NSA) pascainsiden terorisme 11 September 2001. Selain itu, China ikut menerapkan kebijakan serupa yang menghabiskan uang negara hingga US$15 miliar (Rp200,7 triliun).
Semuel menjelaskan, serah terima mesin sensor dari PT Inti (Persero) atau Industri Telekomunikasi Indonesia selaku pemenang tender akan berlangsung pada 29 Desember 2017. Sementara saat ini proses persiapannya telah mencapai 90 persen.
"Serah terima dilakukan 11 hari lagi, dan tanggal 1 Januari 2018 sudah mulai beroperasi. Lokasinya di lantai 8 Gedung Kominfo dengan tim berjumlah 58 orang. Tapi ruangannya hanya bisa dimasuki maksimal 10 orang. Nanti kita undang wartawan untuk melihat-lihat," papar Sammy.
Ketika resmi beroperasi, mesin sensor yang masih dirahasiakan namanya ini bisa digunakan lembaga atau instasni lain sesuai bidang dan wewenangnya, di antaranya Badan Narkotika Nasional dan Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan.
"Misalnya, BNN yang ingin mencari konten narkoba atau BPOM yang mencari obat dan makanan tidak terdaftar yang dijual ke masyarakat.
Google pun jadi korban
Mesin sensor ini dilelang Kemkominfo sebesar Rp211 miliar pada 30 Agustus 2017 dan dimenangkan PT Inti yang memberikan harga penawaran Rp198 miliar dan harga terkoreksi Rp194 miliar.
Bicara mesin sensor internet tidak terlepas dari China. Mengutip situs Deutsche Welle, sensor internet China memblokir konten yang dari awal telah berkecimpung dengan tema-tema yang tidak disukai pemerintah dengan menutup total.
Di antaranya situs-situs dari organisasi-organisasi hak asasi manusia, pemerintahan Tibet atau juga situs porno. Kemudian, mereka juga menggunakan filter berdasarkan kata-kata kunci. Membaca dan mencari konten yang mengandung teks yang dianggap terlarang.
Hasil akhirnya situs yang mengandung konten negatif akan diblokir atau hanya mendapat peringatan untuk menghapus konten negatif yang dimaksud. Akibatnya, penggunaan sensor internet di China lebih ketat dari Indonesia.
Bahkan, mesin pencari populer, Google, juga turut diblokir. Meski begitu, selalu akan ada aksi cerdik dari masyarakat untuk menghindari sensor internet.
Berita ini telah tayang di viva.co.id,, Selasa 19 Desember 2017 dengan judul Selamat Datang Polisi Dunia Internet