SERANG, TitikNOL - Pemerkosaan merupakan kejahatan asusila yang memiliki atensi khusus. Perbuatan itu akan berdampak pada masa depan korban. Terlebih, sejauh ini perempuan dan anak kerap menjadi korban.
Berdasarkan catatan LPAI tahun 2021, data kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang dilaporkan serta ditangani berjumlah 1.735 orang.
Kasus itu didominasi oleh kekerasan seksual sebanyak 557 atau 32 persen. Dari jumlah itu, sebanyak 67 persen atau 1.173 korban merupakan berjenis kelamin perempuan.
Dari informasi berbagai sumber, baru-baru ini Polres Serang Kota telah membebaskan dua tersangka kasus pemerkosaan atas korban disabilitas.
Pembebasan itu didasari oleh pencabutan laporan dari pihak terlapor dan hasil musyawarah keluarga.
"Sehingga penyidik menangguhkan kasus, lalu proses selanjutnya. Intinya ada pencabutan pelaporan, dasarnya yah, dari pihak pelapor," kata Kasat Reskrim Polres Serang Kota AKP David Adhi Kusuma, yang dikutip dari IDNTimes.
Baca juga: Bejat, Paman dan Tetangga di Kota Serang Cabuli Wanita Tuna Grahita Hingga Hamil
Pemerhati Hukum Pidana, Uday Suhada mengatakan, tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Artinya, proses hukum dapat berjalan meskipun tanpa laporan.
Mengingat, bunyi Pasal 285 KUHP sudah jelas menyebutkan 'barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun'.
Oleh karena itu, pihak Kepolisian dalam hal ini penyidik, tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara perkosaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.
"Pencabutan laporan yang dilakukan oleh pelapor tidak dapat menghentikan proses penegakan hukum terhadap tersangka pelaku tindak pidana perkosaan," katanya kepada TitikNOL, Selasa 18/1/2022).
Ia meniai, pembebasan pelaku sebagai tindakan pembiaran dan impunitas terhadap kasus pemerkosaan. Sebab membuka peluang pelaku mengulangi kekerasan seksual yang sama pada korban atau orang lain.
Apalagi, jika korbannya adalah masyarakat difabel. Hal itu akan mencederai pelaksaan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
"Kerentanan kondisi korban dan keluarganya seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyelesaiakan proses hukum kasus tersebut," ungkapnya.
Senada dengan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam), Halimah Humayrah Tuanaya. Menurutnya, perkosaan merupakan delik murni, bukan delik aduan. Jadi meskipun pelapor mencabut laporannya, Polisi wajib terus melanjutkan proses hukumnya.
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana, pemeriksaan perkara yang bergantung pada aduan korban hanya beraku pada delik aduan (klacht delicten). Sedangkan delik perkosaan bukan merupkan delik aduan. Terlebih lagi, korban dari kejahatan ini adalah perempuan disabilitas yang merupakan bagian dari kelompok rentan.
"Justru seharusnya dilakukan penyelidikan lebih lanjut terkait hal apa yang melatarbelakangi pelapor mencabut laporannya, apakah pelapor mengalami tekanan, ancaman, dan lain sebagainya," jelas Halimah.
Ia menyebutkan, restorative justice tidak diterapkan dengan tujuan memposisikan korban untuk menjadi korban kedua kalinya.
"Hukum harus tampil memberikan perlindungan yang cukup bagi korban, sebagai bentuk perlindungan negara atas warga negaranya," tegasnya. (TN3)