Sabtu, 23 November 2024

Anak Difabel Ditolak Bersekolah di SMK PGRI Rangkasbitung

Rofi Firdhan Ilhamda (16) anak dari pasangan Sutisna dan Gita Rahayu Utami warga Kampung Bedeng RT 02/RW 06, Kelurahan Muara Ciujung Barat, Kecamatan Rangkasbitung. (Foto: TitikNOL)
Rofi Firdhan Ilhamda (16) anak dari pasangan Sutisna dan Gita Rahayu Utami warga Kampung Bedeng RT 02/RW 06, Kelurahan Muara Ciujung Barat, Kecamatan Rangkasbitung. (Foto: TitikNOL)

LEBAK, TitikNOL - Rofi Firdhan Ilhamda (16) anak dari pasangan Sutisna dan Gita Rahayu Utami warga Kampung Bedeng RT 02/RW 06, Kelurahan Muara Ciujung Barat, Kecamatan Rangkasbitung terlahir dengan kondisi kaki sebelah kiri mengalami kelainan atau cacat.

Adanya kelainan pada kaki sebelah kirinya membuat Rofi yang lahir pada tanggal 31 Desember 2002 hanya bisa berdiri dan berjalan dengan satu kaki.

Kondisi keterbatasan fisik, tidak menghalangi Rofi untuk bisa bersekolah. Ia tetap memiliki semangat tinggi untuk bersekolah hingga akhirnya pada tahun 2018 dinyatakan lulus di SMP Negeri 1 Rangkasbitung.

Perjalanannya menempuh pendidikan dari SD sampai SMP tidak mendapatkan hambatan berarti karena secara mental dan fisik lainnya tidak mengalami gangguan.

Namun ketika sudah lulus, hambatan datang karena sekolah yang dituju menolak dengan alasan Rofi termasuk anak difabel yang semestinya masuk Sekolah Berkebutuhan Khusus.

"Saya mendapatkan penolakan, pas didaftarin ke SMK PGRI Rangkasbitung. Alasannya karena kaki sebelah kiri enggak bisa jalan dan diminta sekolah berkebutuhan khusus,"kata Rofi yang kini tinggal di rumah kontrakan barunya di Kampung Lebak Saninten, Kelurahan MC Barat, Selasa (3/7/2018).

Rofi mengaku, cinta berat dengan SMK. Bisa bersekolah di SMK sudah menjadi cita-citanya.

"Saya tidak tertarik bersekolah di SMA. Tapi ingin bersekolah yang ada kejuruan-nya, dan dekat dengan tempat tinggal,"katanya.

Rofi mengatakan, sekolah yang dekat dengan rumah ialah SMK Negeri 1 Rangkasbitung, SMK Negeri 2 Rangkasbitung dan SMK PGRI.

"Kenapa cari yang dekat karena biar murah diongkos. Kalau jauh pastinya berat karena ibu bekerja hanya kuli ngasuh anak orang, terus bapak pengangguran,"tuturnya

Dikatakan Rofi, sebelum ke SMK PGRI dirinya sempat mendaftar ke SMK 2.

"Namun enggak bisa karena saya yang salah daftar. Terus sama ibu didaftarin ke SMK PGRI, eh malahan ditolak,"katanya.

Rofi berharap, bisa bersekolah di SMK. Tujuannya agar bisa mandiri.
"Kalau di SMK kan nantinya punya keahlian. Ya bikin apa gitu biar nantinya bisa mandiri,"harapnya

Rofi mengatakan, ibunya pada saat ini sedang berusaha keras agar bisa masuk SMK. Upaya dilakukan ialah meminta bantuan ke Provinsi Banten.

"Tau tuh belum ada kabar lagi. Kalau sampai gagal, pastinya sedih karena merasa didiskriminatifkan, padahal saya bisa belajar dengan normal,"ucapnya

Rofi menambahkan, selama bersekolah di SD dan SMP tidak pernah menyulitkan orang lain dan pihak sekolah. Dirinya masih bisa berjalan dengan bantuan tongkat.

"Bahkan tahun lalu meraih juara 2 lomba kursi roda tingkat provinsi. Dan Mewakili Kabupaten Lebak mengikuti lomba tingkat nasional di Jawa,"imbuhnya.

Mengikuti lomba tingkat nasional tidak mendapatkan juara. Hanya mendapatkan pengalaman yang berharga.

"Dan harus pulang tanpa tongkat karena ketinggalan di Bandara Solo. Dari semenjak itu, sampai sekarang belum punya lagi, belum bisa kebeli karena itu juga dapet ngasih dari uwa saya,"katanya

Ia mengungkapkan, dirinya tidak hanya mengalami kehilangan tongkat tetapi juga sebuah rumah karena kena penggusuran PT KAI

"Dulu itu, bapak enggak nganggur tapi berdagang jualan air di Stasiun Rangkasbitung. Namun karena rumah numpang di tanah PT KAI akhrinya dibongkar dan sekarang ngontrak di rumah orang,"kata Rofi menambahkan.

Ketua Panitia PPDB SMK PGRI Rangkasbitung Wardatul Janah kepada wartawan membantah, telah melakukan perbuatan diskrimanatif dengan menolak seorang anak difabel masuk SMK PGRI,

"Kami tidak menolak, cuman dari kemarin itu sudah habis kuotanya. Kita dibatasi menerima siswa 9 kelas, kalau sudah penuh kita setop,"katanya.

Ia menegaskan, penyetopan dilakukan karena jumlah siswa setiap kelasnya juga dibatasi. Jumlah maksimal sebanyak 36 orang

"Tidak boleh lebih sampai 40-42 tapi harus 36. Jadi kalau sudah 9 kelas kita setop karena kalau tetap ditampung kasian akhirnya ke buang lagi,"kilahnya

Wardatul menambahkan, sebelumnya juga SMK PGRI telah menerima siswa berkebutuhan khusus. Orangtuanya punya kemampuan dan anaknya punya kemauan diterima.

"Sebelumnya kebutuhan khusus masuk jurusan manajemen pemasaran. Jadi kita enggak nolak hanya karena kuota aja dan sekarang ini aja sebanyak 15 orang masuk daftar tunggu karena orang tuanya maksa supaya di sini namun kita tak dapat memastikan terkecuali ada yang mencabut berkas,"tandasnya menjelaskan. (Gun/TN2)

Komentar