SERANG, TitikNOL – Kebijakan Pemprov Banten dalam merelokasi anggaran Biaya Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) hanya diperuntukan untuk belanja pegawai, dikeluhkan Kepala Sekolah SMA/SMK di Banten.
Hal itu dinilai tidak berbanding lurus dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 tahun 2018 tentang Pendidikan Gratis SMA/SMK dan SKh. Dalam Pasal 10 yang menyebutkan, bahwa BOSDa dapat digunakan untuk seluruh kegiatan dalam PPDB, pembelian buku teks pelajaran, buku untuk koleksi perpustakaan, kegiatan pembelajaran remedial, pengayaan, olahraga, kesenian, karya ilmiah dan kegiatan ektra kurikuler.
Salah satu kepala sekolah di Kota Tangerang yang tidak ingin ditulis namanya menyebutkan, janji Gubernur Banten Wahidin Halim untuk menambah dana BOS diperuntukan biaya operasional sekolah dan siswa dinilai bohong. Pasalnya, anggaran itu dialihkan seluruhnya untuk belanja pegawai.
“Sekarang ini BOSDa hanya boleh digunakan untuk belanja pegawai. Sementara untuk kegiatan sekolah sepenuhnya diambil dari BOSNas yang berasal dari pemerintahan pusat. Jadi janji Gubernur untuk menambah dana BOS untuk kegiatan sekolah dan siswa itu bohong,” katanya, Senin (13/7/2020).
Ia menyebutkan, sebelumnya Pergub tentang dana BOSDa boleh dibelanjakan untuk pembelian bahan habis pakai, bahan praktikum, akomodasi siswa atau guru dalam rangka mengikuti lomba, langganan media massa, pembayaran rekening listrik, telepon dan internet. Termasuk pembiayaan pengembangan profesi guru dan Kepsek seperti pelatihan MGMP dan K3S/MKKS.
Untuk saat ini, pihaknya mengaku kebingungan untuk mencari dana talangan guna menopang kegiatan belajar mengajar. Sebab, dana BOS dari pemerintahan pusat sebesar Rp1,6 juta persiswa tidak cukup untuk memperbaiki gedung yang rusak, pembelian ATK dan pembelian alat peraga bagi siswa untuk kegaitan ektra kurikuler.
”Pernah dulu ada dana BOSDa untuk kegiatan sekolah diluar gaji pegawai pada tahun 2018 doang, sementara tahun 2020 ini sudah dihilangkan,” ujarnya.
Senada dengan seorang pengurus MKKS sekolah kejuruan. Menurutnya, sejak dihapuskannya BOSDa untuk kegiatan sekolah, banyak kepala sekolah yang terjerat hutang kepada rentenir untuk membayar listrik, internet dan air setiap bulannya. Sedangkan, dana BOS dari pemerintah pusat hanya bisa dicairkan empat bulan sekali.
”Kadang untuk membayar listrik sekolah kami terpaksa pinjam uang kepada renternir dan dibayar dengan bunga 20 persen setelah dana BOS dari pemerintah pusat cair,” tambahnya.
Ia menegaskan, jika Pemprov tidak memiliki anggaran untuk program pendidikan gratis, lebih baik Pergub Nomor 31 tahun 2018 dicabut. Kemudian sekolah diperbolehkan menerima dana partisipasi dari orangtua murid atas kesepakatan dengan komite sekolah.
”Sekarang kami bingung, jika ada sekolah yang menerima sumbangan dari wali murid langsung dipecat. Sementara Pemprov tidak punya anggaran yang cukup untuk program pendidikan gratis selain mengandalkan dana BOS dari pemerintaha pusat,” tegasnya.
Sementara itu, Plt Kepala Dindik Provinsi Banten M Yusuf menuturkan, beban terbesar dalam mengelola pendidikan di Banten adalah pemberian tunjangan guru non PNS.
”Itu kami sudah atasi dari BOSDa yang rata-rata take home pay mereka antara Rp3 juta hinga Rp4 juta bahkan bisa lebih,” ungkapnya kepada wartawan.
Staf ahli Gubernur Banten itu menyampaikan, bahwa operasional sekolah ditopang oleh dana BOS dari pemerintah pusat. Anggaran itu seluruhnya bisa digunakan untuk operasional sekolah. Meskipun, dalam juknis sekitar 50 persen dapat digunakan untuk pembayaran honor guru.
”Kenapa demikian, karena guru sudah ditopang oleh BOSDa, jika masih dibutuhkan tambahan operasional kami akan bahas lagi dengan TAPD," tukasnya. (TN1)