SERANG, TitikNOL - Sebuah gubuk di tepi jurang Sungai Cibanten menjadi saksi bisu dedikasi seorang pedagang cilor dalam mensyiarkan ajaran agama Islam.
Gubuk berukuran kurang lebih 4x6 meter dengan dindik bilik dan tiang kayu, menjadi jalan penerang bagi anak-anak di Ciawi, RT 05, RW 13 Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Kota Serang di tengah zaman yang terdegradasi moral.
Di bawah pengayoman Deni Priyatna, suara bising anak-anak remaja mengaji masih terdengar di sudut kota, mengalahkan suara deras arus Sungai Cibanten.
Deni rela melawan rasa letihnya dalam menafkahi dua anak dan istrinya, asalkan ilmu agamanya tersalurkan kepada 40 muridnya yang semangat menimba ilmu.
Ia mengaku sudah dua tahun mengajar ilmu agama Islam di dalam gubuk yang disebutnya Majelis Nurul Huda.
"Majelis terbuat kayu dan bambu. Dindingnya dari bilik. Atapnya genting. Ada 40 anak yang belajar ngaji, SMP ke bawah, warga di sini," katanya, Selasa (16/1/2024).
Ia menceritakan, awalnya dirinya mengajar ngaji disebuah gardu yang menempel dengan rumahnya.
Namun seiring bertambahnya murid ngaji, dirinya berinisiatif membuat sebuah majelis dengan mengandalkan limbah kayu.
Bahkan dirinya tidak pernah memungut iuran kepada orang tua muridnya, untuk dibuatkan majelis.
Majelis tersebut dapat berdiri berkat uang tabungannya hasil jualan cilor yang sehari mendapatkan Rp70 ribu sampai Rp80 ribu. Ada sebagian orang tua yang turut menyumbang dengan sukarela.
"Hampir 2 tahun tempat ngaji berdiri. Masang sendiri, mulung sendiri. Rusak hampir setahun. Nggak bayar, kalau orang tua ngasih, ya saya terima," ujarnya.
Ia menyampaikan tidak pernah meminta bantuan terhadap lembaga untuk majelis. Terlebih, dirinya ikhlas dalam membagi ilmu yang dimilikinya hasil belasan tahun menimba di pesantren.
"Gak pernah mengajukan bantuan, kalau orang peduli ya diterima, nggak itu istilahnya ngemis gitu. Dari hasil jualan (cilor) semua ini, buat merawat sama ngebangun," paparnya.
Menurutnya, sudah setahun majelis tempat mengaji bertahap rusak. Bahkan saat hujan kerap mengalami kebocoran dan pengajian dihentikan lantaran khawatir ada genting jatuh dan bangunan rubuh.
"Bocor kalau hujan. Yang saya takutin itu genting jatuh sama roboh karena ini mah dapat mulungin bukan beli di material. Kalau hujan bubar ngajinya, gak bisa diterusin," jelasnya.
Ia menerangkan, paling banyak ilmu yang diajarkan tentang zuj ama, fiqih, tajwid, serta sorogan Qur'an.
Sebetulnya, dirinya bisa mengajarkan ngaji Amil dan Jurumiyah. Namun murid-muridnya dinilai belum sampai ke tahapan ilmu tersebut.
Deni menyebutkan, motivasi terbesarnya dalam mengajar nagji, hanya ingin berbakti terhadap lingkungannya.
Dengan begitu, pihaknya berharap murid-muridnya memiliki akhlak dan ilmu agama yang baik agar tidak terjerumus pada perbuatan yang tidak baik.
"Sadar diri aja, saya dulu di jalan. Kepedulian saya terhadap lingkungan. Gimana kalau kedepannya kalau nggak dari kita, sama ingin memanfaatkan ilmu," terangnya. (Son/TN3)