JAKARTA, TitikNOL - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak revisi UU KPK. Karena revisi ini dinilai akan melemahkan KPK dan berdampak pada menurunnya kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Dikatakan Kahar S Cahyono, Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Indikasi pelemahan KPK terlihat, misalnya dalam hal penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, hingga penghapusan beberapa kewenangan strategis.
"Kami menilai revisi ini akan melemahkan KPK. Kalau KPK lemah, dampaknya investor asing tidak akan percaya menanamkan investasi di Indonesia. Mereka bisa saja khawatir terkait ekonomi berbiaya tinggi akibat adanya korupsi, misalnya dalam hal mengurus perizinan" ujar Kahar di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Dijelaskannya, hal itu kotraproduktif dengan usaha pemerintah untuk menarik investasi. Hal lain, jika KPK lemah, buruh juga rentan mendapatkan ketidakadilan. Terutama ketika buruh berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Seperti yang pernah terjadi pada Hakim Imas dari PHI Bandung yang terlibat suap saat mengadili perkara buruh.
"Para hakim di Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengawas Ketenagakerjaan bisa saja terlibat kongkalikong dengan penguasa jika pengawasan dari KPK lemah," kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden DPP FSPMI ini.
Oleh karena itu, kata Kahar, kaum buruh juga menolak revisi UU KPK. Selain itu, buruh juga menolak terhadap rencana pemerintah yang ingin merevisi UU Ketenagakerjaan. Buruh menilai, revisi terhadap beleid ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan buruh Indonesia.
Untuk menyuarakan penolakannya, buruh akan melakukan aksi pada tanggal 2 Oktober 2019 serentak di 10 provinsi. Khusus di Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di DPR RI.
"Ada tiga tuntutan dalam aksi tersebut. Tolak revisi UU Ketenagakerjaan, tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan tagih janji revisi PP 78/2015," tegasnya. (Gun/TN1)