LEBAK, TitikNOL - Penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan absensi elektronik (fingerprint) bagi 900 sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Lebak tahun anggaran 2018 yang didanai dari biaya operasional sekolah (BOS), masih mandeg.
Meski sudah pernah melakukan pemanggilan kepada sejumlah kepala sekolah, namun belum ada kabar lanjutan terkait proses penanganan hukumnya.
Ditanya terkait hal ini, Kepala Kejaksaan negeri Lebak Nur Handayani, mengaku sudah meminta klarifikasi dan keterangan kepada Kasi Intelijen terkait sejauhmana proses penanganannya.
"Sudah, sudah diklarifikasi dan sudah dilaporkan," ujar Kajari Lebak saat dihubungi TitikNOL via pesan WhatsApp, Selasa (15/9/2020) kemarin.
Namun, Kajari Lebak tidak menjelaskan lebih rinci terkait hasil klarifikasi dan keterangan yang didapatnya dari bagian Intelejen.
"Silahkan datang ke kantor saja untuk menanyakannya, karena tidak bisa saya jelaskan di WhatsApp," sambung Kajari Lebak yang belum lama menjabat ini.
Baca juga: Penyelidikan Fingerprint di Lebak Dipertanyakan, Kajari akan Tanya Kasi Intel
Terpisah, Bayu Wibianto, Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Lebak mengaku jika penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan fingerprint belum naik ke tingkat penyidikan.
"Sudah pernah diklarifikasi pihak - pihak yang terkait (Kepsek SD dan SMP) oleh Intel dan hasilnya sudah dilaporkan ke pimpinan. Namun hasilnya seperti apa apakah naik atau tidak, punten (maaf) karena masih ranah intel, saya nggak bisa bicara," terang Bayu Wibianto.
Sementara, Kasi Intelijen Kejari Lebak, Koharudin, saat dihubungi untuk dikonfirmasi melalui Aplikasi pesan WhatsAppnya belum merespons.
Seperti diketahui, Kejari Lebak melakukan penyelidikan pengadaan absensi elektronik yang diduga adanya mark up (kemahalan) harga dalam proses pengadaannya.
Satu unit harga fingerprint di pasaran berkisar sekitar Rp1, 4 juta atau lebih kurang dibawah Rp2 juta. Namun, pihak sekolah membeli menggunakan dana BOS seharga Rp2,9 juta lebih melalui pihak ketiga. (Gun/TN1)