Rabu, 4 Desember 2024

Pengamat Sebut Banten Guru Besar Praktik Dinasti

Suasana diskusi Kamisan di Sekretariat Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Banten tentang kemunduran demokrasi, dinasti politik, dan implikasinya bagi Banten (Foto: Dziki)
Suasana diskusi Kamisan di Sekretariat Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Banten tentang kemunduran demokrasi, dinasti politik, dan implikasinya bagi Banten (Foto: Dziki)

SERANG, TitikNOL - Politik dinasti menjadi diskursus dalam Pemilu 2024. Hal itu ditenggerai dengan kemajuan Gibran Rakabuming Raka yang maju menjadi Cawapres, beriringan dengan Jokowi yang masih menjabat Presiden.

Namun, istilah politik dinasti bukan sesuatu yang baru di perpolitikan lokal, terutama di Banten. Kerabat dari keluarga tertentu telah berkuasa di berbagai daerah di Provinsi Banten.

Pengamat Politik, Taftazani menilai Banten merupakan guru besar dalam praktik dinasti di kancah perpolitikan. Sebab bukan hanya sekedar teoritis, tapi sudah terbukti terlaksana dan mengakar di jabatan politis.

"Banten itu guru besar praktik dinasti. Bukan hanya teori tapi sudah dilaksanakan," katanya saat jadi narasumber di Diskusi Kamisan Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Banten, Kamis (25/1/2024).

Menurutnya, istilah dinasti baru-baru ini muncul Kembali karena dipicu peristiwa nasional. Bahkan dalam survei, 40 persen masyarakat Indonesia tahu tentang politik dinasti.

"Rakyat yang tahu dinasti politik 40 persen dan belum tentu semuanya tidak menyukai dinasti politik," ucapnya.

Senada dengan Akademisi Unsera, Ahmad Sururi. Menurutnya, Banten menjadi rujukan bagi daerah lain yang hendak melanggengkan politik dinasti.

Sebab hampir semua kabupaten dan kota di Banten, telah dikuasai oleh keluarga tertentu. Bahkan bertahan sampai beberapa periode.

"Banten menjadi rujukan utama kalau ngomong dinasti. Sekarang sudah generasi ketiga, kalau kita cari di artikel, Banten selalu muncul jika bicara dinasti," ucapnya.

Ia berpendapat, suburnya politik dinasti di Banten, tidak bisa lepas dari peran Parpol yang membuka lebar pada keluarga dinasti.

"Di sisi lain, dinasti menjadi demokrasi itu sendiri. Kenapa itu terjadi? Bahwa praktik politik membangun peluang melanggengkan dinasti, mulai partainya yang menjadi penentu demokrasi itu sendiri," ungkapnya.

"Parpol tetap ingin elektabilitasnya tinggi, sehingga sengaja menarik aktor yang sudah punya nama, dan punya modal politik. Sehingga parpol menarik keluarga yang dapat menambah suara," tambahnya.

Di tempat yang sama, Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebutkan politik dinasti bagian dari penyakit dalam demokrasi.

Alasannya, potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa berujung pada praktik korupsi.

"Kita tidak bisa ada jaminan, tapi kita bisa memastikan ada dinasti itu ada penyakit, dinasti dan korupsi. Kalau dinasti nggak ada, ya penyakitnya cuma satu yaitu korupsi," ungkapnya.

Ia menjelaskan, politik dinasti dilahirkan dari sistem demokrasi. Sebab kekuasaan yang diturunkan berdasarkan turunan, itu disebit dengan sistem monarki.

"Dinasti lahir di sistem demokrasi. Kalau tidak dipilih langsung ditunjuk berdasarkan darah, itu monarki. Makanya ini yang kita lawan, demokrasi yang dikuasai dinasti," jelasnya.

Sementara itu, Sekjen Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko menerangkan, kemunculan dinasti disebabkan adanya ketimpangan modal politik.

"Itu yang kemudian mendorong munculnya dinasti. Itu tantangan bagi hukum tata negara," terangnya.

Menurutnya, saat ini demokrasi Indonesia mulai masuk pada otoritarian elektoral. Bagi politisi yang tidak memiliki modal, akan selalu kalah dari keluarga yang secara politiknya suah berkuasa.

"Negara demokrasi gagal ada beberapa faktor, ekeonomi berkurang, otoriter, kudeta. Jadi kita baru pada kebijakan yang illiberal, tapi sudah muncul diktatorian karena menyampaikan yang bersebrangan diancam-ancam," paparnya. (Son/TN3)

Komentar