Sabtu, 27 Juli 2024

Ini Pendapat Ulama Tentang Pilih Pemimpin Muslim dan Non Muslim

Lubna Rahma Prabandana (Foto: istimewa)
Lubna Rahma Prabandana (Foto: istimewa)

TitikNOL - Tulisan ini hendak menggambarkan sebuah telaahan kritis bagaimana perbedaan pendapat diantara ulama tentang memilih pemimpin muslim dan atau non muslim, sehingga masyarakat dapat tercerahkan serta tidak berpotensi merusak harmoni sosial yang sudah terbangun secara baik bersatu dan utuh menuju Indonesia maju.

Kontrovesi kepemimpinan muslim atau non muslim ditengah masyarakat selalu mengundang perdebatan dikalangan para ulama, ahli dan politisi.

Menanggapi isu ini, para ulama terbagi menjadi dua faksi, yaitu ulama yang menentang dan ada faksi ulama yang membolehkan, adalah Ibnu Taimiyah.

Ulama pemikir yang cerdas dan kontroversial pada zamannya dan kini banyak pengikutnya menyatakan “lebih baik dipimpin oleh seorang pemimpin (Presiden) kafir yang jujur dan adil, daripada dipimpin oleh pemimpin (Presiden) muslim yang dzalim dan tidak jujur”.

Situasi perpolitikan nasional saat ini telah, sedang dan akan terus “memanas”, terutama menjelang Pemilu tahun 2024, adalah tentang kepemimpinan muslim dan non muslim.

Adapun terkait Presiden pilihan nanti, pasti banyak muncul isu-isu “miring” sehubungan hal tersebut, baik menyangkut calon Presidean dan atau keluarganya. Tentu saja hal ini sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis dari sudut pandang hukum islam, agar pengalaman Pilpres tahun 2019 politik identitas mengundang kekacauan berbau sara tidak terulang kembali.

Memang benar fakta sejarah, kontroversi tentang boleh atau tidaknya non-muslim diangkat menjadi pemimpin, bagi kalangan kaum muslimin adalah sebuah permasalahan klasik yang menjadi perdebatan sepanjang masa, terutama dikalangan ulama ahli siyasah, pelajar, politisi, dan para peneliti.

Di antaranya, faksi pertama beberapa ulama yang melarang umat islam mengangkat pemimpin non muslim itu karena adanya larangan yang jelas berdasarkan ayat al Qu’ran. Namun di sisi lain adalah faksi kedua ada ulama yang membolehkan adalah ulama yang menitik beratkan pada kemampuan seseorang itu dalam mempimpin rakyat menuju keadilan dan kesejahteraan yang secara harfiah pun merupakan ketentuan yang juga diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah bukan pada islam tidaknya seseorang yang akan menjadi pemimpin.

Salah satu ulama yang termasuk dalam kategori faksi kedua adalah Taqi ad-Din Abu al-Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd as-Salam ibn Taimiyah atau yang popular disebut Ibnu Taimiyah. Statement Ibnu Taimiyah yang paling terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil daripada dipimpin pemimpin muslim namun dzalim.

Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas secara tegas menyatakan bolehnya non-muslim sebagai pemimpin dikalangan islam asalkan dia adil. Hal ini bagi penulis bahwa pendapat Ibnu Taimiyah dapat dijadikan sumber analisis kritis untuk meninjau kembali bagaimana konstruksi hukum islam tentang pemimpin non muslim.

Sebagaimana dimaklumi adanya perbedaan tersebut didasari pada Al-Qur’an dan Sunnah, karena didalamnya ditemukan ayat atau hadist larangan mengenai pemimpin non muslim serta perbedaan setiap ulama dalam memahami ayat tersebut, serta beberapa interpretasi ulama yang mempertanyakan masih relevankah ayat ini digunakan dizaman kontemporer sekarang ini, baik dalam konsep maupun penerapannya di negara-negara mayoritas muslim.

Faksi yang menolak pemimpin non muslim, menurut Fahmi Huwaidi, sebagaimana dicatat oleh H.M. Mujar Ibnu Syarif, merupakan pendapat yang paling banyak dianut oleh umat islam dewasa ini, beradsarkan dalil Q.S Ali Imran ayat 28.

Menurut Al-Jassas surat di atas, menjelaskan bahwa dalam hal apapun orang kafir tidak boleh berkuasa atas umat islam. Atas keyakinan itu, al-Jassas tidak hanya melarang pengangkatan pemimpin non muslim, namun melarang adanya campur tangan non muslim dalam setiap aspek kahidupan kaum muslimin walau ada hubungan darah sekalipun.

Senada dengan Al-Jassas, Ibnu Katsir pun menolak adanya pengangkatan pemimpin non muslim dengan memajukan hadist Riwayat Imam Bukhori yang bersumber dari Abu Darda, yang berbunyi sebagai berikut “Sesungguhya kami (sering) tersenyum di hadapan beberapa kaum, sedangkan (sebenarnya) hati kami mengutukinya”. (H.R Al-Bukhari).

Kemudian diperkuat dengan Surat Al-Nahl ayat 106 “Barang siapa yang kafir kepada Allah SWT sesudah dia beriman (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)".

Adapun faksi ulama yang mendukung pemimpin non muslim seperti Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa konsep keadilan adalah yang harus dimiliki seorang pemimpin. Keadilan adalah penerapan dari yang disebut dengan kemaslahatan dalam pemerintahan syariah yang didam-idamkan. Menurut Ibnu Taimiyah tujuan syar’i adalah mewujudkan suatu kemslahatan sesempurna mungkin dan menolak kemafsadatan.

Perealisasian kemaslahatan diperkenankan sebagai alat penyelesaian persoalan muamalah termasuk didalamnya adalah permasalahan politik. Kemaslahatan adalah menjadi bagian integral dari kehidupan umat, karenanya sangat menuntut adanya upaya penegakkan keadilan dan menjungjung tinggi amanah.

Menurut Ibnu Taimiyah otoritas pemimpin memang didasari pada Tuhan namun tetap saja dalam beberapa hal mereka harus mengedepankan kepentingan rakyat sebagai kewajiban dari perealisasian khidmat kepada Tuhan.

Pembangunan negara adalah bentuk dari keagamaan dan kepemimpinan didalamnya adalah sebuah kewajiban, namun system adalah hal yang penting namun lebih penting adalah siapa yang menduduki jabatan kekuasaan tersebut.

Demikian relevansi pemikiran Ibnu Taimiyah dalam diskursus seputar pengangkatan pemimpin non muslim, bahwa boleh mengangkat pemimpin non muslim asal dia memenuhi persyaratan yaitu beritegritas tinggi, berlaku adil, dan professional serta bekerja sungguh-sungguh demi kemakmuran rakyat dari pada islam namun dzolim.

Perintah menegakkan keadilan adalah ajaran syariat, sedangkan penyelenggaraan negara hanyalah alat yang dapat dipakai demi tegaknya perintah agama. Pendapat Ibnu Taimiyah ini didasari pada Q.S An-Nisa ayat 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara itu harus terbangun bersama pemimpin yang memiliki tiga syarat utama yaitu, pertama, memeroleh dukungan atau persetujuan mayoritas umat islam. Kedua, memenangkan dukungan dari masyarakat. ketiga, memiliki integritas yang adil, kuat, professional, dan dapat dipercaya, jujur, dan amanah.

Terlepas dari segi keimanannya, maka jika dia memenuhi ketiga syarat utama tersebut, maka dia akan hidup sejahtera dengan rakyatnya, dalam kontek ke Indonesiaan maka memilih pemimpin itu terletak pada kemampuan menegakan keadilan bagi rakyatnya, bukan pada apa agama Pemimpin tersebut. (Lubna Rahma Prabandana)

Komentar