JAKARTA, TitikNOL - Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA) menyoroti anggaran Program Sekolah Gratis (PSG) Banten. Jika tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, anggaran senilai Rp144 miliar yang digelontorkan untuk PSG rentan diselewengkan dan akan jadi ajang bancakan oknum pejabat.
Hal tersebut disampaikan Direktur BRIMA, Asep Rohmatullah, sesaat setelah menyaksikan penandatanganan kerjasama antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA), di kantor BRIN, Jakarta, pada Selasa (28/4/2025).
“Setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa dilacak penggunaannya. Transparansi bukan sekadar formalitas. Ini fondasi kepercayaan publik," ujarnya.
Maka dari itu, BRIMA mengusulkan laporan keuangan dipublikasikan secara berkala lewat platform digital, lengkap dengan saluran aduan online agar masyarakat dapat ikut mengawasi.
“Jangan sampai sekolah gratis menjadi lahan korupsi baru dan ladang subur bagi penyalahgunaan anggaran. Di banyak daerah, program serupa ini sering kali menghadapi masalah klasik: kebocoran anggaran dan ketidak-merataan fasilitas. Publikasi laporan keuangan menjadi sebuah keniscayaan,” katanya.
BRIMA juga menuntut pembentukan tim pengawas independen yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, ormas keagamaan, LSM dan kalangan lainnya.
Selanjutnya, BRIMA memotret buramnya mekanisme pelaksanaan PSG. Hingga kini, belum ada kejelasan soal siapa pengelola teknis program, bagaimana skema penyaluran anggaran, dan apa indikator keberhasilan yang digunakan.
“Kami khawatir program ini hanya jadi slogan tanpa dampak nyata,” ujar Asep.
Oleh karenanya, BRIMA merekomendasikan penggunaan verifikasi data berbasis teknologi, audit rutin oleh pihak ketiga, serta evaluasi berkala dengan indikator terukur.
“Di lapangan, banyak masyarakat belum memahami prosedur mengakses program ini.
BRIMA mendorong sosialisasi intensif melalui media tradisional seperti radio lokal, pertemuan warga, hingga media massa dan media sosial. Libatkan tokoh masyarakat dan relawan pendidikan untuk menjangkau daerah-daerah terluar. Forum-forum orang tua siswa juga perlu dihidupkan sebagai bagian dari edukasi publik terhadap PSG,” tandasnya.
Sekolah Gratis Bukan Sekadar Hapus SPP
Selain itu, BRIMA menekankan bahwa sekolah gratis seharusnya tidak hanya tentang menghapus biaya SPP. Yang lebih krusial adalah memperbaiki sistem pengajaran, kompetensi guru, dan lingkungan belajar. “Kalau isi ruang kelas tetap sama, guru tidak terlatih, dan fasilitas minim, apa bedanya dengan sekolah berbayar yang buruk?” kritik Asep.
Rekomendasi BRIMA tegas: alokasi anggaran Rp144 miliar harus diprioritaskan untuk pelatihan guru, reformasi kurikulum berbasis inovasi, dan perbaikan fasilitas sekolah, terutama di daerah terpencil.
Sekolah Swasta Terpinggirkan di Program Sekolah Gratis?
BRIMA mengingatkan PSG bisa menggerus eksistensi ribuan sekolah swasta yang selama ini menopang ekosistem pendidikan di Banten.
Dalam rekomendasi strategisnya, BRIMA menyoroti potensi eksodus siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri akibat iming-iming biaya gratis. Kondisi ini, jika tidak diantisipasi, dikhawatirkan membuat banyak sekolah swasta kolaps, memindahkan beban pendidikan secara penuh ke negara.
“Jika sekolah swasta tumbang, negara akan menanggung beban lebih besar. Ini kontraproduktif dengan semangat memperluas akses pendidikan,” tegas Asep.
Sekolah-sekolah di bawah naungan Mathla’ul Anwar — salah satu organisasi Islam terbesar di Banten — mengelola hampir 1.000 satuan pendidikan. Sebagian besar bergantung pada iuran orang tua siswa untuk biaya operasional harian.
Program Sekolah Gratis yang menghapus pungutan di sekolah negeri, tanpa kompensasi bagi swasta, menciptakan ketimpangan baru. Sekolah swasta terancam kehilangan sumber pendanaan, sementara tuntutan mutu pendidikan tetap tinggi.
“Pemerintah harus adil. Sekolah swasta juga bagian dari tulang punggung pendidikan nasional. Kalau mau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten naik merata, mereka harus diberdayakan, bukan ditinggalkan,” ujar Asep.