TitikNOL - Tampaknya ini merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Ketika organ reproduksi telah berkembang secara optimal, melampiaskan hasrat seksual menjadi semacam keharusan. Jika tidak disalurkan, rasanya ada suatu bagian dari dirinya yang terkekang.
Sayangnya, jika manusia dibiarkan begitu saja untuk melakukan hubungan intim, bisa jadi mengakibatkan pelanggaran hak asasi orang lain, contohnya pemerkosaan yang marak belakangan ini. Untuk itulah sistem sosial dan agama menetapkan pernikahan sebagai sebuah ‘saluran’ resmi untuk menyalurkan dorongan seksualnya.
Selain itu, masyarakat pun bisa turut mengawasi agar pasangan yang telah menikah tersebut tidak berbuat asusila dengan melakukan hubungan seks selain bersama pasangan resminya.
Bila pernikahan telah mampu meredam sisi liar manusia dalam mengendalikan libidonya, niscaya tak kan ada lagi prostitusi di dunia. Nyatanya praktik ini terus berlanjut. Atas nama moralitas, para pelaku (pelacur, gigolo, mucikari, dan sebagainya) dikecam.
Sejumlah oknum juga ikut-ikutan menggerebek tempat ‘praktik’ mereka, baik yang mengaku dari kalangan ormas agama hingga penegak hukum.
Dikecam, Tetapi Masih Ada
Mengacu pada penelitian Louise Brown dari Universitas Birmingham di Inggris, ada tiga kategori pelacuran di Asia, termasuk juga Indonesia.
Pertama, pelacur kelas atas yang memiliki wajah mempesona, berpendidikan (umumnya bahkan bisa berbahasa Inggris), dan berasal dari kelas menengah ke atas. Kategori ini merupakan golongan paling langka dalam piramida bisnis seks di Asia.
Klien mereka juga adalah golongan kaya yang mampu membayar jasa mereka hingga ratusan juta rupiah. Para pelacur kelas atas melakukan hubungan seks demi kepuasan diri, bukan demi uang.
Kedua, para pelacur yang beroperasi di lokalisasi. Umumnya mereka didampingi oleh mucikari sebagai pelindung dan juga ‘memasarkan jasa’ sang pelacur.
Kalangan terakhir adalah mereka yang terpaksa melacur demi memenuhi kebutuhan hidup. Umumnya mereka berpenghasilan rendah dan dapat melayani kebutuhan ‘pelanggan’ walau hanya dengan Rp50.000. Mereka bahkan bisa melakukan hubungan seksual di komplek pemakaman, hingga warung kaki lima yang gelap dan sepi.
Seperti industri pelayanan jasa pada umumnya, supply terjadi jika ada demand. Meski para mucikari dan pekerja seks sering diciduk, bisnis prostitusi seakan tidak mengalami penurunan permintaan.
"Seperti industri pelayanan jasa pada umumnya, supply terjadi jika ada demand. Meski para mucikari dan pekerja seks sering diciduk, bisnis prostitusi seakan tidak mengalami penurunan permintaan"
Walau upaya penutupan lokalisasi telah dilakukan pemerintah, industri prostitusi terus berjalan. Teknologi komunikasi pun dimanfaatkan sebagai salah satu medium pemasaran, seperti menggunakan sarana media social agar sirkulasi permintaan dan penawaran tetap berlangsung.
Perbudakan Terhadap Tubuh Perempuan
Martin A. Monto dalam Sex for Sale mengulas mitos seputar prostitusi yang tak dapat dihilangkan. Salah satunya adalah karena prostitusi merupakan sarana bagi lelaki untuk mengekspresikan kepuasan seksualnya.
“Prostitution is something men naturally pursue. It is a natural aspect of masculine sexual behavior”.
Berbicara tentang maskulinitas tentu tak dapat diabaikan dari sistem patriarki yang memarjinalkan perempuan. Prostitusi adalah bentuk lain dari perbudakan, yakni bentuk kuasa pria macho terhadap tubuh perempuan.
Penelitian Lily Braun (Jerman) dan Ryckere (Belgia) menunjukkan, 50% pelacur dulunya bekerja sebagai pelayan. Karena tugas melayani tersebut, mereka telah terbiasa diperintah. Oleh karena itu, para pekerja seks tampak selalu pasrah saat tubuhnya dieksploitasi, dan dirinya menjadi objek ketimbang menjadi ‘person’ (orang).
Memutus Rantai Prostitusi
"Bisnis prostitusi disebut sebagai world’s oldest profession – profesi tertua di dunia. Karena ‘institusi’ yang sudah mapan ini, rasanya cukup sulit untuk langsung menghilangkan praktik ini. Semakin dilarang, semakin banyak celah yang muncul untuk memasarkan pelacuran"
Salah satu cara yang dapat digunanakan untuk meredam semakin banyaknya pihak yang terjun ke bisnis prostitusi adalah dengan menjadikan keluarga sebagai tempat bernaung. Keluarga merupakan institusi sosial pertama yang mengajarkan manusia tentang dunia luar.
Pengajaran ini menumbuhkan rasa saling terikat antaranggota keluarga. Eratnya hubungan keluarga ini menyebabkan tiap anggota terus menjaga nama baik keluarga sehingga tidak terjerumus ke dalam praktek prostitusi yang dapat mencoreng nama baik keluarga.
Kedekatan dengan Tuhan pun dapat menjauhkan dari prostitusi, karena tidak ada ajaran agama manapun yang memperbolehkan pemeluknya untuk melakukan seks bebas. Memang ajaran agama menggambarkan siksaan yang pedih bagi para pelacur. Seharusnya siksaan itu membuat para pemeluk agama ketakutan, hingga menjauhkan dirinya dari praktek pelacuran.
Selain itu, hukuman yang tegas pun harus diberikan pada para pelaku industri prostitusi ini. Lemahnya sanksi pelacuran di Indonesia menyebabkan bisnis prostitusi tetap marak. Penyalur para pekerja seks hanya diberi hukuman setahun penjara, sedangkan pekerja seks dan pelanggan diperiksa sebagai saksi.
"Selain itu, hukuman yang tegas pun harus diberikan pada para pelaku industri prostitusi ini. Lemahnya sanksi pelacuran di Indonesia menyebabkan bisnis prostitusi tetap marak"
Jika ingin memutus rantai prostitusi, hukuman yang berat harus turut diberikan pada pekerja seks dan kliennya, agar permintaan dan penawaran terhadap jasa seks menurun drastis. Namun jika industri seks bebas ini nantinya sudah tak ada lagi, pemerintah harus mampu menjamin para pekerja seks agar mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak.
Sumber: www.selasar.com