Serang - Pemerintah Provinsi Banten melakukan efisiensi anggaran dengan memotong anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) Kesehatan untuk warga miskin di Provinsi Banten sebesar Rp19 miliar.
Langkah ini dikritik oleh anggota DPRD Banten, Muhsinin, yang menilai bahwa pemangkasan anggaran tersebut tidak tepat sasaran karena mengurangi hak masyarakat miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Menurut Muhsinin, pemangkasan anggaran ini berdampak signifikan pada jumlah penerima manfaat, yang turun dari 1 juta orang menjadi 500 ribu orang. Banyak warga miskin yang terpaksa kembali dari rumah sakit karena kepesertaannya tidak bisa digunakan.
Muhsinin menyarankan agar efisiensi dilakukan pada dinas-dinas yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan masyarakat. "Harusnya yang diefisiensi itu di dinas-dinas yang tidak ada kepentingan langsung dengan masyarakat. Itu harus disortir lagi, mana yang benar-benar bermanfaat. Kalau tidak ada, baru diefisienkan," kata Muhsinin.
Ia juga membandingkan kebijakan era Gubernur Wahidin Halim dengan Gubernur Andra Soni. Menurutnya, saat Wahidin memimpin, warga miskin cukup menunjukkan KTP untuk bisa berobat. "Harusnya bisa mencakup satu juta jiwa. Sekarang hanya 500 ribu, bayangin 50 persen dikurangi," katanya.
Pemangkasan iuran BPJS kesehatan tersebut diamini oleh kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti, menurutnya hal itu telah disesuaikan dengan komitmen Universal Health Coverage (UHC) Banten yang memastikan seluruh masyarakat Provinsi Banten memiliki akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Iya (di pangkas Rp19 miliar, red), disesuaikan dengan komitmen UHC," katanya.
Rina memaparkan, penganggaran untuk BPJS Kesehatan dianggarkan berdasarkan rentang tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan Kabupaten/Kota.
"Pemprov juga sudah membuat komitmen pemenuhan UHC. Kemudian melalui evaluasi APBD Kabupaten/Kota, Pemprov sudah mandatorykan untuk pemenuhan anggaran BPJS-nya," jelasnya.