SERANG, TitikNOL - Pemerintah memberikan atensi terhadap penyakit difteri yang dapat menewaskan penderitanya.
Tidak terkecuali Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten yang turut andil memberikan penerangan sebagai bentuk pencegahan.
Kepala Dinkes Banten, Ati Pramudji Hastuti mengatakan, difteri merupakan penyakit yang menyerang sistem pernapasan atas dan tenggorokan.
Kondisi ini menyebabkan selaput jaringan mati dan menumpuk di tenggorokan dan amandel.
"Akibatnya, penderita difteri mengalami kesulitan bernapas dan menelan," katanya.
Pada tahap lanjut, bakteri Corynebacterium diphtheriae dapat menghasilkan racun yang berisiko menimbulkan gangguan pada beberapa bagian tubuh lain, seperti kulit, jantung, hingga saraf.
Bahkan, kata Ati, difteri berpotensi mengancam jiwa bila tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Sebab difteri penyakit menular yang dapat menyebar melalui batuk, bersin, dan luka terbuka dari orang terinfeksi.
"Penyakit ini dapat menyerang orang dari segala usia dengan tingkat kematian sebanyak 20 persen pada penderita di bawah 5 tahun atau di atas 60 tahun," terangnya.
Difteri kerap terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat vaksinasi yang rendah, termasuk Indonesia.
"Sejak tahun 2018, WHO melaporkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami peningkatan isu difteri," ungkapnya.
Maka dalam pencegahannya, masyarakat diminta untuk paham terhadap gejala hingga pengobatan penyakit difteri.
Penyebab Terapapar Difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae yang dapat menular antar manusia melalui percikan air liur atau menghirup udara yang dihembuskan oleh orang terinfeksi.
Seseorang dapat tertular difteri apabila menghirup partikel udara yang berasal dari bersin atau batuk dari orang terinfeksi. Cara penularan ini berpotensi tinggi terjadi di tempat ramai.
Selain partikel udara, difteri juga dapat menular melalui sentuhan benda yang terkontaminasi bakteri.
Misalnya, berisiko tinggi tertular difteri jika memegang tisu bekas penderita difteri. Meski jarang terjadi, difteri juga dapat menyebar melalui peralatan pribadi yang digunakan bersama, salah satunya handuk.
Kemudian, menyentuh luka terbuka yang telah terpapar bakteri juga bisa menjadi salah satu penyebab seseorang tertular difteri.
Gejala Difteri
Gejala difteri akan muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi bakteri Corynebacterium diphteriae.
Selanjutnya, bakteri akan menyebar ke aliran darah dan menimbulkan beberapa gejala. Di antaranya terdapat lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi amandel dan tenggorokan.
Kemudian, Demam dan menggigil, batuk, gangguan penglihatan, kulit pucat, berkeringat dingin, dan jantung berdebar cepat Kesulitan bernapas.
Selain itu, penderita difteri mudah merasa lemas dan lelah, lendir dari mulut atau hidung terkadang bercampur darah, nyeri tenggorokan, suara menjadi serak, kebingungan saat berbicara hingga melantur.
Komplikasi Difteri
Difteri adalah kondisi yang dapat menimbulkan beberapa risiko komplikasi jika tidak ditangani dengan tepat.
Pertama, gangguan pernapasan. Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang mengakibatkan kerusakan jaringan di hidung, tenggorokan, atau area terinfeksi lain.
Pada kondisi ini, infeksi menimbulkan lapisan abu-abu yang terdiri atas sel-sel mati, bakteri, dan zat lainnya yang berpotensi menghambat pernapasan.
Kedua, kerusakan jantung Racun difteri dapat menyebar melalui aliran darah sehingga berisiko merusak jaringan lain pada tubuh, salah satunya otot jantung. Kondisi ini memungkinkan penderita difteri mengalami miokarditis.
Ketiga, kerusakan Saraf. Selain kerusakan pada jantung, racun bakteri difteri juga berpotensi menyebabkan kerusakan pada saraf.
Akibatnya, penderita difteri mengalami kesulitan menelan. Kelemahan otot juga bisa terjadi karena peradangan pada saraf lengan dan kaki.
Cara Pengobatan Difteri
Sebagai langkah pengobatan difteri, pada umumnya dokter akan meresepkan obat-obatan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi, melalui antitoksin, antibiotik, dan vaksin.
Antitoksin adalah obat yang berfungsi menetralkan racun akibat difteri. Antitoksin biasanya diberikan melalui suntikan ke otot atau pembuluh darah.
Namun sebelum menyuntikkan antitoksin, dokter perlu melakukan tes alergi kulit untuk memastikan pasien terbebas dari alergi antitoksin.
Kemudian, penderita harus diberi antibiotik. Tujuannya untuk mematikan bakteri penyebab difteri dan membersihkan infeksi.
Antibiotik juga dapat membantu mencegah terjadinya penularan difteri ke orang lain.
Terakhir pemberian vaksin DPT. Vaksinasi ini dilakukan secara bertahap sejak masa kanak-kanak, yaitu mulai dari usia 2 bulan hingga 6 tahun.
Anak-anak yang telah mendapatkan vaksin DPT sebelum usia 7 tahun disarankan untuk melakukan booster vaksin difteri ketika berusia 18 tahun. (ADV)