TitikNOL - Depresi seringkali dikaitkan dengan rasa sedih berkepanjangan dan menarik diri, tetapi ada respon emosional lain yang sering terabaikan padahal merupakan gejala depresi. Semua tahu rasanya terjebak dalam kemecetan parah atau tidak sengaja menendang meja hingga kopi tumpah. Tentu saja itu akan membuat kita marah.
Marah memang menjadi bagian dari emosi yang sehat. Tetapi, dalam beberapa kasus, marah yang terus menerus atau persoalan kecil bisa membuat kemarahan meledak, itu menjadi pertanda hal yang lebih serius: depresi. Sebuah penelitian di tahun 2014 menemukan bahwa amarah, baik yang ditekan atau terlalu besar, merupakan tanda dari kondisi mental seseorang.
Orang yang kesulitan mengontrol amarahnya beresiko mengalami depresi. Para ahli mendeskripsikan penyakit mental sebagai "kemarahan terhadap diri sendiri" atau "kemarahan ke dalam". “Tidak selalu terlihat seperti depresi, padahal memang demikian,” kata Marianna Strongin, seorang psikolog klinis. Marah yang menjadi gejala depresi bukanlah marah biasa, namun yang gampang meledak dan sulit dikendalikan.
"Orang tersebut atau keluarganya biasanya sadar dia tidak bisa mengendalikan marahnya dan datang ke psikolog untuk mengatasinya. Tapi setelah digali lebih dalam sebenarnya kemarahan itu sebagai gejala depresi," kata Strongin.
Jika orang yang depresi lebih dikenal dari gejala merasa sedih dan kosong, sebagian punya gejala gampang marah. Menurut Strongin, lebih mudah untuk menyadari kemarahan sebagai sesuatu yang salah dibanding emosi murung.
“Kesedihan lebih berat untuk dirasakan. Sedih adalah tahapnya dan marah adalah aksinya. Jadi, terkadang orang mengalihkan untuk tidak merasa sedih, tetapi sebaliknya, amarahlah yang terpancing,” tambahnya. Pada laki-laki Meski depresi lebih banyak diderita perempuan, tetapi menurut psikolog Sherry Benton laki-laki yang lebih banyak menunjukkan kemarahan sebagai gejala depresi. “Terkadang muncul keinginan untuk menarik diri dari orang lain. Marah adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk menjauhkan dari orang lain” kata Sherry. Laki-laki cenderung menjauh dari orang yang dicintainya dan menutupi depresi yang mereka alami sendirian.
Bukan berarti perempuan tidak mengalaminya juga. Bess Meade, seorang pekerja seni didiagnosas mengalami depresi sejak usia 19 tahun. Gejala awalnya adalah amarahnya. Ia membentak rekan kerjanya selama rapat dan memecahkan jendela rumah mantan pacarnya.
“Ibuku bilang kalau saya sedang marah dan saya harus melakukan sesuatu untuk melampiaskannya,” kata Meade yang saat ini berusia 29. Sekarang, Meade mampu mengelola emosinya dan gejala depresi lainnya melalui kombinasi antidepresan dan perubahan gaya hidup sehat. “Saya mulai mengikuti kelas yoga ketika saya benar-benar berjuang dengan depresi sekitar setahun yang lalu. Hal ini meningkatkan kesadaran saya tentang tubuh dan pernafasan yang dapat membantu saya keluar dari rasa takut,” tambahnya.
Menulis jurnal
Selain obat-obatan, latihan pernafasan, dan olahraga, Marianna mengatakan menulis jurnal bisa menjadi cara yang bermanfaat untuk mengelola amarah dan mencari akar penyebabnya. Ia menyarankan kepada para pasiennya untuk menuliskan hal-hal negatif, kemudian menanyakan dan mencari tahu kebenaran dari hal tersebut.
“Jika pikirannya mengatakan bahwa ‘saya sedang tidak baik’, saya akan bertanya lagi ‘hal apa yang tidak baik?,” tambahnya. “Ketika kamu merasa tidak nyaman, tanyakan sampai kamu mendapat jawabannya” Cara mana yang dianggap berguna mungkin berbeda pada tiap orang, namun langkah pertama adalah mendapatkan bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.
Berita ini telah tayang di lifestyle.kompas.com, dengan judul: Gampang Marah, Gejala Depresi yang Jarang Diketahui.