TitikNOL - Berpikir positif kerap dianggap sebagai kunci kesuksesan, juga kebahagiaan. Padahal jika dilakukan dengan proporsi yang salah, atau tidak pada tempatnya, berpikir positif malah jadi beban. Begitu menurut Svend Brinkmann, seorang profesor psikologi di Aalborg University Denmark.
Emosi manusia dan situasi hidup
Dalam hidup, banyak situasi yang akan Anda hadapi. Dan semua tak hanya digambarkan dengan kebahagiaan. Ada saatnya, kita perlu merespons dengan tepat situasi yang berbeda.
Itulah mengapa manusia diciptakan lengkap dengan sisi emosional berbeda pula. Tak jarang, emosi yang terpendam membuat orang jadi tidak apa adanya. Dengan kata lain, menambah beban pikiran sebab berpura-pura.
Untuk itu, dibanding terus berpikir bahwa berpikir positif selalu yang terbaik, mengekspresikan perasaan dengan jujur lebih penting. Dr Brinkmann percaya kebenaran tersebut. "Pikiran dan emosi kita harus mencerminkan dunia. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, kita harus diizinkan untuk memiliki pikiran dan perasaan negatif, karena begitulah cara manusia memahami dunia," katanya.
Sayangnya, tuntutan dan penempatan yang salah akan aturan berpikir serta bersikap positif, justru membuat kita kehilangan jati diri. Pun abai pada sisi negatif.
Contohnya begini, saat dirundung masalah seperti tenggat waktu menumpuk, hasil kerja buruk, atau ribut dengan pasangan, lalu Anda bilang, "Semuanya baik-baik saja", ini cuma jadi cara meyakinkan diri. Atau mudahnya, pembenaran akan kesalahan, yang mungkin, tanpa Anda benar-benar melakukan perbaikan.
Padahal, seperti dijelaskan Dr. Brinkmann, emosi negatif memainkan peran penting dan sehat dalam bagaimana kita memahami dan bereaksi terhadap dunia. Rasa bersalah dan malu penting untuk membangun moralitas, sedangkan kemarahan adalah respons yang sah untuk ketidakadilan. Sementara kesedihan membantu kita melalui proses tragedi.
Solusi berpikir negatif, bukan dihilangkan tapi diseimbangkan
Forbes menyebutkan, berpikir positif merupakan hal kontraproduktif. Alasannya, sama dengan pendapat Dr. Brinkmann, tidak ada satu panduan pas untuk menghadapi berbagai situasi. Baik dalam kepemimpinan, atau kehidupan.
Menghilangkannya hanya menambah beban pikiran. Sebab selain mengatasi hambatan yang sedang dihadapi, Anda juga perlu bergulat dengan pikiran negatif itu sendiri.
Daripada memaksakan berpikir positif, optimis, ditambah (pura-pura) memperlihatkan kebahagiaan, sebenarnya ada cara yang lebih baik untuk menghadapi permasalahan. Para ahli menyebutnya kelincahan emosional (Emotional Agility). Yakni kemampuan Anda untuk menyadari dan menerima segala macam pergeseran dalam berpikir dan emosi yang dibuat.
Dalam Harvard Business Review, terungkap fakta yang jadi alasan pebisnis sukses dunia menghadapi kesulitan. Bukan karena memiliki pikiran negatif, melainkan terhambat pikiran positif.
Menurut penulis, dua psikolog Susan David dan Christina Congleton, pemimpin sukses tidak mencoba menekan pengalaman batinnya. Sebaliknya, menyadari kenyataan yang sedang terjadi. Dengan cara ini, mereka terhindar dari membutakan diri terhadap hal-hal buruk hanya karena takut menyakiti dirinya.
Itulah mengapa sangat penting menciptakan kelincahan emosional. Jika Anda menolak berpikir negatif dengan mencoba konstan berpikir positif, ini cuma menciptakan pertahanan diri tanpa menghilangkannya. Yang terjadi justru, Anda merasa tidak aman, lebih banyak cemas, mengalami ketidakpastian, dan sulit bahagia.
Selain kelincahan emosional, spesialis psikologi motivasi Gabriele Oettingen juga pernah mengembangkan teknik yang disebut mental kontras. Yakni teknik yang digunakan untuk menyeimbangkan pikiran negatif-positif. Singkatnya, teknik ini membayangkan manfaat mencapai suatu tujuan tertentu, diikuti dengan membayangkan rintangan dan kesulitan yang mungkin menghalangi menyelesaikan tujuan Anda.
Jadi, jika Anda punya masalah, sedang cemas atau takut, coba bayangkan kedua sisi positif dan negatifnya. Agar pikiran tak terbebani dan Anda siap menghadapi tantangan.
Sumber: www.beritagar.id