Minggu, 24 November 2024

10 Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia Versi Sejarawan Bonnie Triyana

Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana saat orasi budaya di Pendopo Museum Multatuli. (Foto: TitikNOL)
Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana saat orasi budaya di Pendopo Museum Multatuli. (Foto: TitikNOL)

LEBAK, TitikNOL - Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat pada kehidupan masyarakat.

Meskipun kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

Hal itu diungkapkan pria asal Lebak ini dala sebuah orasi kebudayaan di Pendopo Museum Multatuli.

"Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya," katanya, Jumat (16/6/2023).

Dalam catatan Bonnie, paling tidak ada sepuluh hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih mewarisi dampak kolonialisme.

1. Bidang Pendidikan

Pada awal kemerdekaan tahun 1945, dengan jumlah penduduk 61 juta, hanya lima persen atau 3.050.000 masyarakat Indonesia yang bisa membaca dan menulis.

Artinya sekitar 57.950.000 penduduk Indonesia saat itu masih buta huruf latin. Mereka yang mampu membaca adalah kelompok masyarakat yang bisa menikmati pendidikan di zaman kolonial.

Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

"Yang diperbolehkan hanyalah kalangan priyai dan bangsawan saja," ucapnya.

Pada September 1932, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dikenal sebagai Ordonansi Sekolah Liar yang mengetatkan kontrol terhadap sekolah-sekolah swasta.

Hal sebagai perlawanan terhadap sekolah yang dibangun Ki Hajar Dewantara yang bertentangan dengan sekolah Hindia Belanda.

Sehingga sekolah swasta harus mendapatkan izin operasi dari pemerintah daerah. Untuk mendapatkan izin, para guru di sekolah itu harus memiliki ijazah sekolah negeri atau yang disubsidi pemerintah.

Kemudian izin akan keluar bila pemerintah setempat menganggap sekolah itu bukanlah ancaman terhadap ketentraman dan ketertiban.

"Tercatat sebanyak 1.633 sekolah swasta dengan status liar pada tahun 1936. Padahal pembelajaran dalam sekolah liar jauh lebih membebaskan dan memperbolehkan seluruh lapisan untuk mengakses pendidikan," terangnya.

Kondisi hari ini, banyak orang tua dari kelas menengah dan atas mengirim anak-anak mereka ke sekolah berkurikulum internasional dengan fasilitas pendidikan yang jauh di atas mutu rata-rata sekolah negeri yang disediakan pemerintah.

"Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu," jelasnya.

2. Jejak Feodalisme dalam Praktik Politik.

Feodalisme menjadi hal paling erat di sistem politik Indonesia. Sejak tahun 1602 terbentuknya VOC sebagai solusi dari persaingan harga rempah-rempah yang semakin liar.

Namun organisasi ini justru memberikan dampak terhadap sistem birokrasi Indonesia yang buruk.

Dalam sistem ini mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas.

"Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan gubernur VOC tidak tahu," ungkapnya.

Ternyata feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki.

"Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya," tuturnya.

Sementara itu Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya.

Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.

"Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral," paparnya.

3. Bidang Kesehatan

Pemberlakuan tanam paksa pada 1830 mengakibatkan kesejahteraan masyarakat menurun. Upah yang rendah bahkan terkadang tidak diberi upah, mengakibatkan masyarakat pribumi tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kebutuhan kalori untuk kekuatan fisiknya tidak bisa terpenuhi sehingga mereka mengalami kelaparan dan kekurangan gizi.

"Karena secara dasar saja kurang terpenuhi, maka tidak ada jaminan mereka bisa memenuhi gizi secara sempurna," tuturnya.

Menurutnya, buruh pribumi Indonesia di Batavia seringkali hanya mendapatkan upah tidak lebih dari 30-40 sen setiap hari.

Bahkan jika jumlah upah ini digandakan, cukup jelas bahwa satu keluarga hanya mendapatkan setengah dari apa yang mereka butuhkan sesuai standar kebutuhan hidup minimum.

Dalam pandangan ini, pasar sama sekali tidak pernah dapat memperbaiki persoalan ini karena melimpahnya jumlah tenaga kerja.

"Kurangnya kecukupan gizi ini juga menjadikan masyarakat kita bertendensi pada stunting. Ketidakmampuan dalam mencukupi gizi setiap anak, menjadikan tumbuh kembangnya terhambat," ucapnya.

4. Diskriminasi Rasial

Praktik ini secara formal dimulai sejak 1812 dengan disetujuinya perjanjian 1 Agustus antara Inggris dengan Keraton Yogyakarta, yang mana pada pasal 8 menetapkan bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang terlahir di luar wilayah kesultanan harus diadili di bawah hukum pemerintah.

Pasal ini dirancang untuk melindungi orang Tionghoa dan sangat menyebabkan banyak masalah.

Dua tahun setelahnya, yakni pada 1814, Pengadilan Residen resmi didirikan dan semua perkara pengadilan yang melibatkan orang Tionghoa, orang asing, dan orang-orang yang terlahir di luar wilayah keraton Jawa tengah bagian selatan, diadili di bawah Hukum Pemerintah (Government Law) yang merupakan perpaduan antara hukum romawi dan hukum sipil Belanda.

Pada 1817, diskriminasi semakin terlembaga dengan rilisnya Peta Jawa milik Raffles yang berjudul Map of Java Chiefly from Surveys made during the British Administration Constructed in Illustration of an Account of Java by Thomas Stamford Raffles.

"Raffles menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah (gagasan “mitos pemalas”)," ucapnya.

5. Trauma Terhadap Paham Kiri dan Kanan

Trauma ini sengaja ditinggalkan untuk diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Trauma pada islam dimulai pada 1816 atau lebih tepatnya ketika Mayor Nahuys van Burgst menjabat sebagai Residen Yogyakarta.

Nahuys secara terang-terangan memandang rendah masyarakat dan budaya Jawa, terutama terhadap para santri yang berkelana di lingkungan Islam Jawa, tempat Pangeran Diponegoro tumbuh dewasa.

"Dia memerintahkan penahanan seorang ulama yang sedang mengajar di pesantrennya. Ia juga melaporkan, tindakan yang sama telah diambil oleh asisten-residen setempat terhadap guru-guru agama di Salatiga yang membandel dengan hasil yang sangat memuaskan," ungkapnya.

Sedangkan trauma terhadap paham komunis berakar sejak tahun 1901. Pada mulanya, sistem penjajahan VOC berubah menjadi sebuah jajahan bersistem liberal.

Perkebunan yang semula dimonopoli pemerintah, kini dapat dikelola oleh modal-modal swasta. Begitupun sistem kerja paksa dan rodi dihapuskan dan diganti dengan sistem kerja upah secara bebas.

"Pendudukan yang imperialistik ini dipandang kaum kiri Belanda hanya memberikan keuntungan sepihak melalui eksploitasi dan pengurasan sumber alam," ucapnya.

6. Kekerasan Jadi Resolusi saat Merespon Segala Hal yang Terjadi di Status Quo

Berangkat dari tahun 1854 terdapat Undang-Undang Negara 1854 yang memiliki alat yang lebih mendasar dalam melakukan kontrol negara.

Ada pasal yang memberi 'kekuasaan luar biasa' kepada Gubernur Jenderal di atas Hukum Pidana dan tidak bisa digugurkan oleh pengadilan atau lewat banding.

"Melalui pasal ini, orang-orang yang lahir di Hindia Belanda yang dianggap menjadi ancaman terhadap pemeliharaan ketentraman dan ketertiban dapat dilarang tinggal di wilayah tertentu atau diasingkan ke tempat lain dalam wilayah koloni untuk waktu tak terbatas," tuturnya.

Pemerintah Hindia Belanda juga menyimpulkan bahwa untuk menguasai wilayah Hindia Belanda, maka diperlukan kebencian agar mudah untuk dikuasai dan lemah untuk diduduki.

"Sehingga cara yang digunakan ialah memberikan pantikan untuk setiap daerah saling membenci dan bersaing," paparnya.

Terlihat pada terjadinya perang-perang antar saudara seperti Perang Padri. Mereka terus diadu domba sehingga fokus militerisme hanya kepada lawan yang sepadan dengan mereka.

"Bahkan militerisme sering digunakan untuk menyelesaikan masalah internal serta menghukum bawahan mereka," ucapnya.

7. Mitos Buruh Malas

Pada 1912 terdapat Laporan Kemerosotan Kesejahteraan yang menyebutkan bahwa terdapat pandangan yang menyebar luas perihal buruh-buruh Indonesia pemalas dan tidak memiliki keinginan meningkatkan kehidupan material.

Pandangan ini menegaskan bahwa buruh-buruh Indonesia memiliki sedikit kebutuhan, lebih sedikit dibanding buruh-buruh Tionghoa yang memiliki tingkat upah lebih tinggi untuk jenis pekerjaan yang sama.

Sehingga sebagian besar orang Eropa semakin enggan untuk menaikkan upah buruh karena akan membuat mereka semakin tidak produktif.

"Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja," paparnya.

8. Stratifikasi Sosial Menyebabkan Diskriminasi Terhadap Kelas Bawah

Struktur sosial masa Hindia Belanda terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas atas yang terdiri dari orang-orang Eropa, kelas menenang yang terdiri dari orang Timur Asing (Cina, Arab, India) , dan kelas bawah yang terdiri dari pribumi atau orang asli Indonesia.

Pembagian ini menjadikan pembagian pajak yang tidak sesuai. Kelas bawah sang pemilik daerah asli justru diberikan pajak dan diwajibkan memberikan upeti kepada pemerintah. Sehingga diskriminasi dirasakan oleh masyarakat pribumi.

"Pembagian kelas ini masih terus menjadi budaya secara implisit di masyarakat. Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal," terangnya.

"Ketika mereka sudah berada di strata atas maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi," tambahnya.

9. Patriarki dalam Politik

Survey terbaru yang diluncurkan beberapa waktu yang lalu oleh lembaga survei Politika Research Counsulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia memaparkan hasil temuannya menegenai peluang kepemimpinan perempuan jika menjadi kandidat Pemilihan Presiden 2024.

Penelitian cukup menarik karena dalam kesimpulan matematis tersebut 72,2 persen perempuan lebih setuju laki-laki dapat menjadi pemimpin nasional kembali.

Hanya 7,2 persen responden yang menyatakan sikap mendukung calon perempuan, semetara 20,6 persen responden tidak memberikan jawaban.

"Kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis. Cara kerja kekuasaan ini masih berlaku hingga hari ini," jelasnya.

10. Apartheid dalam Pembangunan Kota

Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbgai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.

"Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit," tutupnya. (TN3)

Komentar