Jum`at, 22 November 2024

Ini Sisi Positif Pembangkit Listrik Geothermal Banten Versi Praktisi

Dosen Praktisi Geothermal Independen, Riki Irfan saat memberikan pemaparan. (Foto: Ist)
Dosen Praktisi Geothermal Independen, Riki Irfan saat memberikan pemaparan. (Foto: Ist)

SERANG, TitikNOL - Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau Geothermal masih terus mendapatkan penolakan. Banyak yang berpendapat bahwa pembangunan PLTPB dapat merusak lingkungan.

Namun, jarang yang melihat sisi positif dari keberadaan PLTPB. Bahkan, jarang yang mengetahui bahwa PLTPB itu hanya dapat dibangun dengan baik di tempat-tempat tertentu saja, khususnya yang berada di daerah cincin api atau ring of fire.

Dosen Praktisi Geothermal Independen, Riki Irfan, dalam diskusi publik yang digelar oleh DPM Unsera menuturkan, bahwa Indonesia khususnya Provinsi Banten, sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membangun PLTPB.

"Orang di negara lain berharap seperti Belanda, Jerman, berharap punya Geothermal. Sampai-sampai mereka rela mengebor 3.000-5.000 meter hanya untuk 150 derajat Celcius," ujarnya di aula Technopark SMK 2 Kota Serang, Jumat (30/4/2021).

Jika negara lain perlu menggali hingga ribuan meter kata Riki, ternyata Indonesia hanya perlu mengebor 700 meter untuk mendapatkan panas bumi hingga 200 derajat celcius.

"Kalau ngebor 1.000 meter lebih, bisa saja dapat 220 derajat celcius atau lebih. Artinya ini adalah berkah. Tinggal dimanfaatkan dengan bijak, dikontrol, ada teknologinya, ada ahlinya, dimanage dengan baik. Kalau tidak dimanage dengan baik, apa saja juga akan rusak," ungkapnya.

Terkait dengan kekhawatiran masyarakat bahwa pembangunan PLTPB itu dapat berpotensi menjadi musibah seperti Lapindo, Riki menuturkan bahwa hal itu sangat kecil kemungkinan terjadinya. Sebab pada pengeboran Lapindo itu berada di batuan sedimen yang memiliki kadar lumpur, minyak , gas dan air yang berbeda.

"Sedangkan di Geothermal ini berbeda, batuannya sebagian besar vulkanik, batuan yang keras, yang apabila terpanaskan pun karakternya tidak sama dengan di batu sedimen. Jadi karakter fluida yang akan keluar dari Geothermal itu air panas dan uap bukan lumpur. Karena batuannya reservoir adalah volkanik, yang sangat kecil kemungkinan ada poket lumpur (sedimen) dalam sistem geothermal volkanik," jelasnya.

Selain itu juga, teknologi pengeboran yang dilakukan untuk Geothermal adalah teknologi yang lebih canggih tahan panas dan aman. Teknologi yang digunakan tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat, tentu tidak sama seperti mengebor untuk mencari sumber air di perumahan.

"Sampai saat ini di lapangan-lapangan yang sudah beroperasi, nol persen yang terjadi kegagalan pengeboran karena telah diterapkan standar yang tinggi sesuai aturan keselamatan kerja. Kita sebut lapangan yang sukses beroperasi milik Pertamina, star energi, Supreme energi, dan perusahaan BUMN, tidak ada satupun yang gagal menyebabkan bencana karena telah mengikuti prosedur yang baik," terangnya.

Ia pun meminta agar masyarakat jangan mendengarkan dari orang yang bukan ahlinya. Sebab akan berbeda apa yang disampaikan oleh orang yang ahli di bidangnya dengan yang hanya sekadar beropini saja tanpa ilmu.

Kabid Pengembangan Infrastruktur Energi Dan Ketenagalistrikan pada ESDM Provinsi Banten, Ari James Faraddy menuturkan, bahwa potensi yang dihasilkan dari sumur Geothermal di Gunung Prakasak yaitu sekitar 100 mega watt.

"Satu lagi di Gunung Kelud ada 60 mega watt, sekarang sedang proses eksplorasi dua-duanya. Belum produksi, masih tahapan eksplorasi. Kalau berhasil alhamdulillah, kita punya target awal sekitar 30 mega watt," ujarnya.

Ia menuturkan, apabila PLTPB tersebut berhasil dibangun, maka Provinsi Banten memiliki pasokan listrik yang mumpuni dan tidak ketergantungan dengan pembangkit listrik yang mengakibatkan polusi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

"Kalau sekarang ini tergantung dari batubara. Kalau batubaranya mahal, tarif listrik akan lebih mahal lagi. Kalau ada ada kenaikan listrik, masyarakat akan marah," tuturnya.

Menurutnya, PLTPB akan lebih ramah lingkungan, karena sedikit dari karbon monoksida yang dihasilkan. Di sisi lain, batu bara pun akan lebih cepat habis lantaran bukan bahan bakar yang terbarukan.

"Kalau batubara habis, ya habis tidak bisa membangkitkan listrik lagi. Selain itu, pembakaran batubara juga menghasilkan gas karbondioksida, mengakibatkan kerusakan atmosfer kita," tandasnya. (TN1)

Komentar