Jakarta, TitikNOL - Usai menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJ Lino) tetap tidak ingin mengeluarkan statemen kepada awak media. Lino sendiri diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II tahun 2010.
Lino yang keluar gedung KPK sekitar pukul 15.00 WIB, langsung menyerahkan kepada kuasa hukumnya Maqdir Ismail terkait pemeriksaan kali ini.
"Pertanyaan dari penyidik ada 15. Pertanyaan awal lebih banyak masalah riwayat hidup dan pekerjaan. Terakhir pada pak Lino proses pengadaan QCC," ujar Maqdir di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/2/2016) lalu.
Lanjut Maqdir, kliennya juga ditanyakan seputar peraturan dalam pengadaan QCC di PT Pelindo. Maqdir menjelaskan bahwa klieenya sudah sesuai dengan prosedur dalam pengadaan barang tersebut.
"Jadi aturan-aturan yang dibuat memang ada perubahan-perubahan peraturan tetapi bukan karena adanya intervensi. Peraturan itu dibuat karena menyesuaikan dengan ketentuan kementerian BUMN, saya kira itu intinya," ungkapnya.
Diketahui pada awal 2014, KPK menerima laporan dugaan pengadaan 3 QCC di Pelindo II dari laporan Serikat Pekerja Pelindo II. Serikat buruh PT Pelindo menilai ada dugaan korupsi dari pengadaan 3 QCC yang pada 2011 2 QCC itu dialihkan ke Pelabuhan di Pelabuhan Palembang dan Pontianak, penggunaan tenaga ahli dan konsultan yang dianggap tidak sesuai prosedur, megaproyek Kalibaru, pemilihan perusahaan bongkar muat di Tanjung Priok, serta dugaan korupsi atas perpanjangan kontrak perjanjian Jakarta International Container Terminal (JICT).
Pada 15 April 2014 perjalanan penyelidikan, KPK telah memeriksa Dirut PT Pelindo II Richard Joost Lino untuk dimintai keterangan terkait penyelidikan. Usai dimintai keterangan pada 15 April 2014, RJ Lino saat itu mengklaim sudah mengambil kebijakan yang tepat terkait pengadaan crane di beberapa dermaga yakni di Palembang, Lampung dan Pontianak. Bahkan, Lino menyebut dirinya pantas diberi penghargaan lantaran sudah berhasil membeli alat yang dipesan dengan harga yang murah.
Lino mengaku, proyek tahun anggaran 2010 itu sebenarnya memiliki nilai sekitar Rp 100 miliar. Alat yang dibeli itu sudah dipesan sejak 2007. Namun, sejak tahun 2007 proses lelang selalu gagal hingga akhirnya dia mengambil kebijakan untuk melakukan penunjukan langsung. (Bar/Red)