LEBAK, TitikNOL – Lagi, tambang pasir di Lebak membuat warga menderita. Kali ini terjadi di Kampung Tutul, Desa Citeras, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Bahkan, warga pun sampai memberikan himbauan kepada masyarakat yang melintar dengan kalimat, ‘Hati-hati pak banyak mobil truk pengangkut pasir, jalannya juga rusak’.
Padahal, sebelum ada tambang pasir, kondisi jalan di sana sangat bagus. Sayangnya, Sejak beroperasinya pertambangan beberapa tahun lalu, hampir seluruh kondisi infrastruktur jalan di wilayah yang hanya berjarak sekitar dua kilimeter dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak itu rusak parah.
Tidak hanya itu, setiap hari memasuki musim kemarau seperti sekarang ini, warga pun kerap direpotkan debu pasir yang terbawa angin dari lokasi pertambangan.
Parahnya lagi, air sungai Ciranjieun yang dulu menjadi penopang untuk mengairi areal pesawahan dan untuk memenuhi kebutuhan Mandi Cuci Kakus (MCK), sudah tidak bisa. Sebab, sungai yang membelah wilayah Citeras itu, saat ini telah mengalami pendangkalan dan kualitas airnya pun tak jernih seperti dulu.
“Dulu sebelum ada tambang pasir, air sungai bisa untuk mengairi sawah dan digunakan untuk keperluan MCK warga sehari-hari. Saat ini sih nggak mungkin bisa, karena airnya sudah keruh, bahkan saat ini warga sudah mulai mengeluhkan sulitnya mencari sumber air bersih,” kata warga setempat, Oom Komariah (18), belum lama ini.
Menurut dia, sejak adannya tambang pasir, akses infrastruktur jalan di wilayahnya juga rusak parah. Kerusakan jalan terjadi akibat adannya truk pengangkut pasir dari lokasi pertambangan yang setiap saat hilir mudik di jalan tersebut. Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya debu yang ditimbulkan dari lokasi pertambangan.
Menanggapi hal itu, anggota DPRD Lebak, Dian Wahyudi kepada wartawan mengaku prihatin dengan adanya aktivitas tambang di wilayah tersebut. Menurut dia, keberadaan tambang pasir sejauh ini dinilai hanya membawa dampak mudarat dari pada manfaatnya, terlebih Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihasilkan dari sektor tambang tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan.
“PAD dari sektor pertambangan hanya sekitar 13 miliar. Sementara dampak yang ditimbulkan lebih dari itu,” katanya.
Di wilayah itu, kata dia, ada delapan perusahaan tambang pasir yang beroperasi. Aktivitas pertambangan tersebut sempat di tutup, karena soal perizinan yang diduga tak jelas. Pihaknya pun akan segera meminta penjelasan kepada pihak dinas terkait persoalan ini. Soalnya, pemerintah daerah diketahui belum pernah memberikan rekomendasi atas aktifitas pertambangan tersebut. “Pemkab tidak pernah mengeluarkan izin rekomendasi untuk pertambangan itu, karena memang dampak yang ditimbulkan dari aktivitas itu banyak merugikan masyarakat,” jelasnya. (Gun/Rif)