SERANG, TitikNOL – Krisis kepercayaan pada perangkat penyelenggara Pilkada Banten di Kota Tangerang meningkat tajam, seiring dengan banyaknya temuan kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Alih-alih melahirkan seorang pemimpin yang dikehendaki rakyat, perangkat penyelenggara pilkada di Kota Tangerang justru mengambil risiko yang membahayakan bagi tumbangnya demokrasi di Banten. Demikian disampaikan Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Lebak Usep Mujani, di hadapan sejumlah wartawan, Jumat (24/2/2017).
Usep menyayangkan, fenomena maraknya kecurangan yang terungkap secara telanjang namun seolah-olah mengalami pembiaran dari pihak perangkat penyelenggara Pemilukada di Banten.
Sementara itu, Koordinator Forum Banten Bersih Beno Novitneang, secara khusus menyoroti rekomendasi yang diluncurkan Panwascam Karawaci di Kota Tangerang untuk segera melakukan pemungutan suara ulang hanya di 4 TPS.
Ia menyebut hal tersebut sekurang-kurangnya merefleksikan dua hal. Pertama, pengakuan bahwa kekeliruan dan kesalahan telah terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada Banten di Kota Tangerang. Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Karawaci mewakili paras perangkat penyelenggara di Kota Tangerang yang gagal mengedepankan profesionalitas sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan untuk mencegah berbagai dugaan praktik kecurangan yang terungkap secara terang benderang.
Baca juga: KPU Banten Sudah Distribusikan Logistik untuk PSU di Kota Tangerang
Selain itu kata Beno, PSU di Karawaci merupakan fenomena gunung es yang menyembunyikan terjadinya kekeliruan dalam jumlah yang jauh lebih massif di arena yang jauh lebih luas di Kota Tangerang. Sinyalemen penggunaan surat keterangan (suket) palsu telah jauh-jauh hari terendus. Penolakan KPU Kota Tangerang atas ajakan para saksi untuk memeriksa lembar Daftar Pemilih Tambahan saat rekapitulasi suara berlangsung, telah memicu tanda tanya yang sangat besar dan serius.
“Bukankah lembar daftar hadir pemilih yang terangkum dalam Daftar Pemilih Tambahan dapat mengafirmasi jumlah pengguna surat keterangan palsu yang kemungkinan besar digunakan di hampir semua TPS di Kota Tangerang secara massif? Kalau memang tidak ada yang salah, apa yang membuat informasi penggunaan suket itu seolah menjadi barang tabu yang tak boleh dibuka dan diungkap? Rahasia apa yang sesungguhnya tengah disembunyikan oleh KPU Kota Tangerang?” tanya Beno.
Dalam keterangan lainnya, tokoh muda Tangerang sekaligus pengamat Pemilu Ray Rangkuti, secara khusus merasakan kejanggalan atas keengganan KPU Kota Tangerang membuka daftar hadir pengguna suket di ajang Pilkada 15 Februari yang lalu.
Ia menerangkan, indikasi keengganan itu sebagai sesuatu yang dapat menciderai kejurdilan penyelenggaraan Pilkada. Prinsip pelaksanaan Pilkada itu harus transparan dan dapat diakses oleh semua pihak. Maka, dalam konteks ini menurutnya, keengganan KPU membuka data pengguna suket sama sekali tidak memiliki dasar lantaran daftar pemilih tidak termasuk dalam hal yang dirahasiakan.
“Sikap KPUD Kota Tangerang ini jelas menurunkan kredibilitas Pilkada Banten. Bagi saya, tak mengherankan bila akhirnya muncul tuntutan dari banyak pihak untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kota Tangerang. Hal itu merupakan jalan keluar yang paling logis dan rasional dalam merespons berbagai laporan kecurangan yang terjadi secara massif di Kota Tangerang. Bukan tidak mungkin, hal ini pula yang menjadi dasar gugatan kelak di Mahkamah Konstitusi,” tegas Ray.
Senada dengan Ray, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menyebut, indikasi kecurangan Pilkada Banten di Kota Tangerang sebagai preseden buruk yang menciderai ikhtiar kolektif rakyat untuk mencari pemimpin melalui proses yang jujur dan adil.
Akrobat politik menurutnya tidak sepatutnya dilakukan oleh perangkat penyelenggara, lantaran ketidakprofesionalan itu berpotensi memicu konflik horisontal di tingkat bawah. KPU Kota Tangerang tambah Aditya, semestinya bisa memberi rasa nyaman kepada semua pihak seandainya semua proses yang dijalani sejak awal dilakukan secara akuntabel dan transparans.
“Kalau rakyat marah, penyelenggara Pilkada di Kota Tangerang harus bertanggung jawab. Demokrasi sering rusak karena akrobat yang tak pantas dari sejumlah pihak,” katanya.
Pilkada Banten memasuki fase kritis setelah hasil penghitungan suara melalui website hanya menghasilkan selisih tipis di antara kedua paslon. Angka-angka yang diunggah melalui situs resmi KPU Banten justru diakui sendiri oleh komisiober KPU rentan dengan berbagai kesalahan. Kondisi ini tak urung memicu berbagai dugaan adanya kekeliruan yang dilakukan secara sistematis dan disengaja untuk menguntungkan salah satu pasangan calon. (red)