TitikNOL - Drone atau pesawat tanpa awak Ashwincarra karya tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada (UGM) meraih posisi ketiga setelah bertarung dengan 345 tim dari seluruh dunia di Istambul, Turki.
Tim in juga mengalahkan 20 tim robot terbang dalam putaran final pada ajang Teknofest Fighter Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Competition yang berlangsung pada 10-14 September 2019.
“Sempat mengalami hard landing karena saat itu angin bertiup cukup kencang mengakibatkan sayap pesawat rusak,†kata ketua tim Gamaforce Ariefa Yusabih di Lapangan Pancasila samping lembah UGM, Kamis, 26 September 2019.
Kemenangan yang didapat memang tidak mudah. Sebab, pesawat terbang tanpa awak rakitan mahasiswa UGM itu sempat rusak berat. Tepatnya saat melalui perlombaan di ronde terbang ketiga.
Drone Ashwincarra sempat mengalami kesulitan landing karena faktor cuaca yang tidak bersahabat. Tak hanya itu, gangguan kembali dialami tim Gamaforce saat menerbangkan Ashwincarra saat ronde keempat.
“Kala itu pesawat mengalami tabrakan di udara dengan pesawat tim lain. Tabrakan itu mengakibatkan kerusakan cukup fatal yang menyebabkan sayap dan badan pesawat hancur,†kata dia.
Tim hanya diberi waktu selama dua jam untuk melakukan perbaikan pesawat. Serta harus melalui technical inspection ulang untuk memastikan komponen pesawat telah sesuai dengan standar yang ditetapkan juri baik secara fisik maupun komunikasinya.
Dalam dua jam tim Gamaforce harus memasang ulang, memindahkan semua komponen elektronis pesawat ke badan pesawat cadangan. Lalu memperbaiki sayap yang rusak.
Ariefa mengatakan pada kompetisi itu setiap tim diwajibkan harus mengikuti minimal 5 ronde terbang. Dan tim Gamaforce berhasil menyelesaikan 5 ronde terbang setelah melampaui berbagai rintangan.
Dalam babak final Ashwincarra terbang bersamaan dengan 9 pesawat tim lain. Setiap pesawat dituntut untuk berhasil mengikuti dan mengunci lawan sekaligus harus bisa menghindar dari kunci pesawat lainnya. Apabila pesawat yang diterbangkan dikunci pesawat lawan maka akan mendapatkan pengurangan poin dari juri.
“Tidak mudah untuk melakukan semua hal itu sekaligus, ditambah area terbang tidak terlalu luas sekitar 300x500 meter. Sehingga kemampuan pilot mengendalikan pesawat dan performa pesawat sangat menentukan, terutama saat melakukan manuver,†kata dia.
Ashwincarra merupakan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) tipe fixed wing dengan kemampuan manuver tinggi. Drone ini mampu lepas landas, mendarat, jelajah, kemudian mendeteksi, mengunci, dan mengikuti UAV lain baik secara manual dan mandiri menggunakan sistem kecerdasan buatan.
Dengan bobot 3,8 kilogram pesawat ini memiliki kecepatan 150 kilometer per jam yang menjadikannya paling unggul dalam mengejar pesawat lawan maupun menghindar dari kemungkinan terkunci oleh pesawat lawan.
“Pesawat ini bisa terbang hingga 40 menit dengan jarak terbang hingga 500 meter,†kata Fauni Ambarsari, Manager tim.
Pesawat ini dilengkapi dengan telemetry 433MHz 100mW, Modul GPS, dan sensor kamera 8 megapiksel. Selain itu juga First Person View (FPV) Camera dengan FOV 165° at 1080@60fps, Flight Controller Pixhawk , Electronic Speed Controller (ESC) 100A, Video Transmitter 5.8GHz, serta baterai litium 15Ah 14.8V 65C.
Ashwincarra dikembangkan oleh tim Gamafroce yang terdiri dari beberapa mahasiswa dari Fakultas Teknik, MIPA, serta Sekolah Vokasi. Mereka adalah Ariefa Yusabih (ketua), Fauni Ambarsari (manajer), Dwi Novarifanto (elektronis dan ground control station), Baskara (progamer), Eko Putra Wijaya (pilot), serta Ery Setiawan (mekanik). Pengembangan drone dilakukan di bawah bimbingan Dr. Andi Dharmawan dan Dani Adhipta M.T.
Berita ini telah tayang di tekno.tempo.co, dengan judul: Sempat Rusak, Drone UGM Menang di Turki