TitikNOL - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) identing dengan gambaran tentang intimidasi dan serangan fisik atau verbal.Tetapi beberapa bentuk kekerasan itu mulai berubah di abad ke-21. Di era teknologi informasi, pelaku kekerasan juga dapat menggunakan teknologi untuk memantau, mengancam, menindas, dan menyakiti korbannya.
Pelaku mungkin memasang spyware pada ponsel korban, meniru identitas di media sosial untuk mempermalukan mereka, atau memberikan gadget kepada anak-anak yang dapat mengungkapkan lokasi mereka bahkan setelah anak-anak melarikan diri dengan orangtua yang dianiaya.
"Teknologi benar-benar telah menjadi bagian besar dari kehidupan semua orang," kata pakar keamanan teknologi senior di Jaringan Nasional untuk Mengakhiri Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rachel Gibson.
Kebutuhan seorang pelaku untuk menggunakan kekuasaan dan kendali atas pasangannya terletak pada akar dari kekerasan dalam rumah tangga.
ya. Seorang istri dan ibu di Massachusetts, Lia (bukan nama asli) mengungkapkan, bahwa dia sudah lama menderita karena kekejaman suaminya. Ia sudah sering dipukuli. Pada musim semi lalu, sang suami menguncinya dan anak-anak di dalam rumah, serta memasang kamera di dekat pintu depan.
"Dia bisa mengontrol gerakan apa pun yang kami buat. Dia mengambil mobil, kartu kredit, dan ponsel saya. Bahkan kami diisolasi agar tidak bisa meminta bantuan," terangnya. Korban-korban lain juga melaporkan dipaksa memberikan kata sandi yang disalahgunakan karena mereka mendapatkan ancaman kekerasan fisik.
Terselubung
Seringkali penyalahgunaan teknologi dilakukan secara rahasia, membahayakan perangkat dan akun korban tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.
"Spyware atau stalkerware cenderung berjalan dengan senyap, jadi kemungkinan kita tidak tahu, bahwa spyware ada di perangkat gadget," kata Gibson.
Pelaku kekerasan mungkin telah menyiapkan email atau rekening bank dan kata sandi untuk korban sehingga dia bisa terus masuk ke rekening tersebut, bahkan setelah hubungan berakhir.
"Suami saya tahu tanggal lahir saya, alamat email saya, sekolah menengah saya tempat saya bersekolah. Dia tahu banyak tentang saya," kata seorang korban.
Terkadang, pelaku kekerasan membeli gadget korban dan membayar paket data ponsel, yang memungkinkannya melihat semua log panggilan dan pesan teks.
Setelah pelaku memiliki akses, dia bisa mendapatkan informasi tentang aktivitas korban atau memasang spyware yang mengontrol atau menguntit. Penyalahgunaan teknologi memastikannya selalu selangkah lebih maju dari korban, yang sering kali mengatakan bahwa pelaku selalu dapat menemukan atau mengetahui hal-hal yang tidak diberitahukan oleh korban kepada mereka.
Menjadikan media sosial senjata
Pelaku biasanya memasuki akun media sosial korban atau meniru mereka pada akun palsu, dengan tujuan mengirim pesan untuk merusak hubungan korban di dunia maya. Pelaku juga menggunakan gambar pribadi yang tidak pantas untuk melakukan intimidasi. Seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga mengatakan, pasangannya membagikan foto telanjang dia di media sosial.
"Ponsel saya diambil dan dia mengirimkan foto itu ke teman-teman saya melalui email dan media sosial saya karena dia mengetahui kata sandinya," terangnya.
"Dia juga mengancam akan mengirimkannya ke tempat kerja saya. Ini adalah sesuatu yang sangat memalukan. Mengalami penghinaan di depan umum membuat saya terpuruk," lanjut dia.
Pelaku lain mengancam akan menggunakan media sosial untuk mengungkapkan status HIV-positif korban kepada anggota keluarga yang mengetahuinya. Pelaku kekerasan kerap memantau korban melalui anak-anak mereka atau mengumpulkan informasi dari media sosial anak.
Bantuan
Penyalahgunaan teknologi yang berkembang menarik perhatian Cornell University, yang telah mendirikan Clinic to End Tech Abuse (CETA) di kampus Cornell Tech, New York City. Menurut CETA, satu dari empat wanita dan satu dari enam pria akan mengalami kekerasan oleh pasangannya selama hidup mereka.
Meskipun penelitian tentang penyalahgunaan teknologi jarang terjadi, laporan tahun 2017 dari Australia menyebutnya sebagai tren yang sedang berkembang. Hasil yang ditemukan adalah ponsel, tablet, komputer, dan media sosial biasanya digunakan untuk mengisolasi, menghukum, serta mempermalukan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Di Inggris, telah disahkan undang-undang penting yang melarang penggunaan teknologi untuk melacak atau memata-matai pasangan atau mantan pasangan suami istri. Undang-undang tersebut secara khusus mendefinisikan penyalahgunaan teknologi, mengingat sifatnya yang mengontrol dan memaksa, sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Ini juga memberi polisi kekuatan ekstra untuk menanggapi kasus yang melibatkan penyalahgunaan teknologi. Sementara itu, Amerika Serikat tidak memiliki undang-undang serupa, tetapi semua negara bagian memiliki undang-undang bagi penguntit. Banyak juga yang telah memperbaruinya untuk menyertakan teknologi, meskipun undang-undang tersebut tidak membahas kekerasan dalam rumah tangga secara khusus.
Teknologi dapat membantu korban
Para pelaku kekerasan mengeksploitasi teknologi untuk menyebabkan penderitaan mental, tetapi para ahli kekerasan dalam rumah tangga mengatakan korban tidak boleh menyerahkan gadget mereka. Para penyintas berhak untuk bersosialisasi, berhubungan dengan keluarga.
Teknologi dapat mengurangi isolasi. Ini juga dapat memberi para penyintas akses ke layanan keamanan. Kendati demikian, CETA dan Cornell Tech telah menemukan pendekatan yang disebut keamanan komputer klinis untuk membantu korban kekerasan dalam rumah tangga. CETA juga menggunakan alat kustomnya sendiri untuk menemukan risiko-risiko yang bisa saja terjadi.
Para ahli teknologi bahkan memeriksa perangkat anak-anak. Jika mereka menemukan masalah, teknologi memberi klien opsi untuk menanganinya dan semua bergantung pada klien bagaimana mereka pada akhirnya melanjutkan. Namun, klien harus bekerjasama dengan agen kekerasan dalam rumah tangga untuk membuat rencana keselamatan mereka sendiri sebelum mengambil keputusan.
Berita ini telah tayang di lifestyle.kompas.com, dengan judul: Kenali Bentuk Baru KDRT Lewat Gadget dan Media Sosial