SERANG, TitikNOL - Sepekan yang lalu Walikota Serang Syafrudin dan Wakil Walikota Serang Subadri dengan gagahnya akan merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di pinggir jalan ke lantai tiga Pasar Induk Rau (PIR).
Dengan menurunkan sejumlah alat berat untuk merobohkan lapak para pedagang yang terbuat dari kayu dan bambu. Kumuh dan mengembalikan fungsi jalan merupakan alasan jitu dalam memberikan penjelasan kepada para pedagang.
Namun saat ini, bekas lapak pedagang yang di robohkan alat berat kini berganti dengan baja ringan yang berdiri kokoh.
Yanto, salah satu penjual buah-buahan di PIR mengatakan, sudah dua hari bangunan baja ringan tersebut berdiri.
"Ini udah 2 hari, ngerjain nya malam. Jadi sambil dagang ada yang ngerjain gitu. Kalau kayu terlihatnya kumuh, kalau ini kan kelihatannya bersih," katanya saat ditemui di PIR. Rabu, (11/9/2019).
Menurutnya, berdasarkan informasi yang beredar dari rekan seprofesi, bangunan baja ringan yang memiliki luas 2x2 meter tersebut berbayar Rp4 juta sebagai uang pendaftaran.
Namun ia mengaku tidak mengetahui pembayaran tersebut diserahkan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Serang atau kepada PT Pesona Banten Persada.
"Satu lapak bayar Rp4 juta, itu baru daftar doang, nggak tahu kedepannya berapa. Nggak tahu siapa yang megang, terus dibayarin ke siapa nya nggak tahu. Yang kemarin tetep aja ngontrak bayar pakai kayu juga, bayarnya ke pengelola yang punya lahan sini," ujarnya.
Lebih ironinya lagi, dinding yang menjadi pagar di sekeliling arus lalu lintas PIR bertuliskan dilarang berjualan di area ini Perda No 10 Tahun 2010 atas nama Satpol-PP Kota Serang tidak di gubris. Bangunan baja ringan tetap mentereng dan di sewakan.
Bahkan kata Yanto, lapak-lapak tersebut telah penuh di pesan oleh para pedagang lainnya. Dengan harapan lapak yang terbuat dari baja tidak akan di robohkan lagi oleh Pemkot.
"Itu yang dagang ikan asin juga di luar sini (di atas jalan) nggak boleh ditutup, padahal mah malem doang. Kejam banget sih kata saya mah. Susah yang kecil mah ikut yang gede aja. Yang gede mah senang tambah senang, yang kecil mah makin sengsara," terangnya.
Saat ditanya tentang wacana pemindahan pasar tradisional Rau ke daerah Teritih, Yanto menjawab lebih memilih pulang kampung karena tidak kuat membayar lapak sewaan.
"Kalau pedagang nggak buka lapak mah waduh, nggak makan bini di sana. Ya kalau di pindah mah saya pulang kampung lah. Mudah-mudahan nggak jadi lah. Kalau jadi mah waduh kejauhan, ini juga repot," tukasnya. (SON/TN2)