(Part 1)
TitikNOL – Orang-orang besar Republik ini pernah menginjakkan kakinya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kota kecil yang terhampar di pesisir pantai Banten Selatan ternyata memiliki cerita sejarah pergerakkan yang mengharukan, dikutip dari Blogspot Indonesia Humanis.
Adalah Soekarno yang pernah singgah, untuk membakar api semangat pasukan Jepang melawan sekutu. Kala itu, September 1944.
Soekarno dan Hatta datang ke Bayah. Tan menjadi salah satu anggota panitia penyambutan kedatangan rombongan Soekarno dan Hatta.
Di atas mimbar sederhana, Soekarno berpidato penuh bara api. Ia tegaskan dalam sebuah kalimat-kalimat heroik bahwa Indonesia bersama Jepang akan membuat Sekutu bertekuk lutut. Tak lama setelah itu Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia.
Selain meminta tentara Jepang, Soekarno pun meminta para pekerja tambang membantu perjuangan dengan meningkatkan produksi batu bara.
Usai berpidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan hadirin bertanya. Saat itu, Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu.
Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”. Ejekan bernada lelucon itu rupanya membuat Tan gerah.
Dia pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesia lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Menanggapi pertanyaan itu, Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah.
Menurut penulis buku Madilog tersebut, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan oleh pihak Jepang.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu dari dusun kecil, Bayah, pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria.
Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi dihentikan. “Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya tidak akan menerima,” Suara Bung Karno tegas ketika rangkaian kalimat itu meluncur dari mulutnya.
Tegas, tak hanya karena ia ingin menguatkan sikapnya, tetapi juga segera hendak mengakhiri perdebatan yang menurutnya debat kusir dengan lelaki kecil bertopi mandor onderneming yang ngotot itu.
Pelan-pelan Bung Karno mengenali lelaki itu. Benar, dia Tan Malaka, pejuang yang selama ini menghilang dikejar-kejar tak hanya dinas intelijen Hindia Belanda (PID), atau Kempeitay Jepang, melainkan semua aparat penjajah; Inggris dan Amerika.
Bung Karno melihat lelaki yang mengaku bernama Ilyas Hussein itu sigap hendak merebut mikropon, hanya gagal karena Son Co wilayah Bayah lebih dulu mengambilnya. Perdebatan pun berakhir, hingga pertemuan itu usai. Bahkan sampai Soekarno dan rombongan pulang ke Jakarta. (Dede/red)