SERANG, TitikNOL - Biaya Penunjang Operasional (BPO) Gubernur Banten dan Wakil Gubernur Banten dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten.
Pelaporan itu dilakukan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman dengan terlapor PPK dan Bendahara pencairan dana BPO Gubernur dan Wakil Gubernur tahun anggaran 2017 sampai 2021 pada Pemerintah Propinsi Banten.
Pelaporan dikirim kepada Kejaksaan Tinggi Banten melalui saluran elektronik dan nomor hotline pengaduan masyarakat.
Boyamin mengatakan, BPO yang diberikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Banten besarannya yaitu 65 persen untuk Gubernur dan 35 persen untuk Wakil Gubernur.
Menurutnya, BPO tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya.
Ia menduga, BPO Gubernur dan Wakil Gubernur Banten telah dicairkan dan dipergunakan secara maksimal jumlah pencairannya, namun diduga tidak dibuat SPJ yang kredibel sesuai peraturan perundangan sehingga berpotensi digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain.
"Sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 2 Undang-Undang (UU) nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," katanya melalui rilis yang diterim TitikNOL, Senin (14/2/2022).
Ia menerangkan, Provinsi Banten menggunakan satuan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2000, Pasal 8, BPO Gubernur dan Wakil Gubernur.
Adapun besarannya dengan standar maksimal sebesar 0,15 persen dari atau kali Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sedangkan PAD Provinsi Banten tahun 2017 sampai tahun 2021, antara Rp6 triliyun sampai Rp7 trilyun.
"Maka terhitung dari 12 Mei 2017 sampai sampai dengan bulan Desember 2021 (4 Tahun 6 bulan) BPO Gubernur dan Wakil Gubernur sebesar kurang lebih Rp 57 miliar," terangnya.
Boyamin berujar, patut diduga BPO digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay) dan dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap.
Sehingga dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp40 miliar atau dapat lebih kurang atau lebih besar dari jumlah tersebut sepanjang terdapat SPJ yang kredibel.
"Berdasarkan PP 109 tahun 2000, Pasal 8 Huruf h, BPO sebagaimana dimaksud dialokasikan untuk kegiatan koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan Khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Gubernur dan Wakil Gubernur," jelasnya.
Berdasarkan pengamatannya, peraturan Perundangan yang berpotensi dilanggar adalah UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kemudian, UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 31 dan Pasal 32 perlunya SPJ bagi setiap penggunaan dana yang bersumber dari APBD/APBN.
Selanjutnya, UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, pada Pasal 19.
Lalu Permendagri nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Ia memaparkan, MAKI tetap menjunjung azas praduga tidak bersalah. Laporan aduan ini hanyalah sebagai bahan proses lebih lanjut oleh Kejati Banten untuk menentukan ada tidaknya dugaan penyimpangan dalam perkara tersebut.
"Jika pencairan tahun 2017 diduga tidak ada LPJ kredibel, maka semestinya PPK dan Bendahara tidak melakukan pencairan dana penunjang operasional tahun 2018 sampai 2021," paparnya. (TN3)