LEBAK, TitikNOL - Kurang lebih lima tahun, Atiah (63) dan Emah (55) warga Kampung Jati RT 19 / RW 06, Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, bekerja menjadi juru masak di Kapal Motor (KM) Orange.
KM Orange sendiri selalu digunakan di setiap kegiatan Insititut Pertanian Bogor (IPB), ketika melaksanakan kegiatan penelitian di wilayah Banten Selatan.
Upah yang didapat persatu kegiatan sebesar Rp100 ribu per orang, tak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kedua koki tersebut.
Dimata keluarga, baik Atiah dan Emah dikenal baik oleh keluarganya dan taat terhadap Agama.
Atiah salah satunya. Janda anak 7 ini sudah ditinggalkan cerai hidup oleh suaminya yang entah kemana selama sepuluh tahun. Selama itu pula Atiah berusaha menggantungkan nasibnya bersama IPB yang kerap berhadapan dengan badai laut.
Lima tahun sudah perjalan Atiah mencari nafkah dengan melawan ombak laut Banten Selatan, harus terhenti akibat Kapal Motor (KM) Orange yang ditumpanginya bersama 22 rombongan dari IPB dihantam ombak setinggi lima meter diperairan Lebak-Pandeglang, tepatnya di Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang.
Kapal itupun terjungkal di pertengahan laut sekitar pukul 13.30 Wib, Kamis (19/7/2018) kemarin, saat hendak sandar di dermaga.
Jasad Atiah dan Emah ditemukan oleh tim SAR Basarnas yang dibantu nelayan sekitar. Sekitar pukul 10.00 Wib, Jumat (20/7/2018), Atiah dan Emah dikebumikan oleh keluarganya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Binuangeun, Kecamataan Wanasalam, Kabupaten Lebak.
Anak pertama dari Atiah, Aep Samsudin mengungkapkan, sebelum ibu kesayanganya pergi untuk selamanya sepekan yang lalu, Ia dan semua keluarga lainnya diminta untuk tidak kemana-mana agar tetap berada di Kampung Jati sampai Atiah pulang dari kerjaannya.
Menurut Aep, ternyata permintaan ibu kesayangan tersebut adalah firasat bahwa ibunya akan pergi untuk selama-selama meninggalkan ke tujuh anak-anak yang telah dibesarkan puluhan tahun.
"Saya kan tinggalnya di Sukabumi, tiba-tiba saya ingin banget pulang ke kampung halaman, padahal pada hari Raya Idul Fitri saya, istri dan anak saya pulang ke sini (Kampung Jati) dan alhamdulillah saya ketemu ibu dan keluarga lainnya. Pas ibu saya mau pergi bersama rombongan IPB, beliau bilang "Jangan kemana-mana semuanya ya. Tunggu ibu pulang dari kerjaan" hanya kata ini yang terakhir yang diucapkan dari mulut beliau," kata Aep kepada wartawan, saat ditemui di rumahnya, Jumat (20/7/2018).
Kata Aep, pada sore itu pihaknya mendapat informasi dari warga bahwa ada kapal yang mengangkut penumpang dihantam ombak besar hingga penumpangnya tenggelam.
Setelah dicari tahu, ternyata kapal tenggelam merupakan KM Orange yang ditumpangi ibu kesayangnya bersama rombongan mahasiswa IPB berikut dosennya.
Pada saat itu pula, pihaknya tidak bisa menahan kesedihan dan mencemaskan kondisi ibu yang telah membesarkannya.
"Keluarga yang lain sudah panik, saya dan keluarga lainnya berusaha datang ke lokasi untuk mencari tahu kondisi ibu saya. Sampai di lokasi, tim SAR Basarnas Provinisi Banten sedang mengevakuasi para korban. Tapi hingga beberapa jam ibu saya belum ditemukan, hingga akhirnya tim SAR menemukan ibu saya sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri dan membawanya ke bantaran laut," ujarnya.
Tidak butuh waktu lama, lanjut Aep, Atiah sempat dibawa ke Puskesmas Binuangeun guna mendapatkan pananganan medis. Ternyata Atiah, sudah meninggal dunia.
"Sebelum dibawa ke Puskesmas, ibu saya sudah meninggal dunia. Tapi dalam hal ini, kami akan meminta pertanggungjawaban dari pihak IPB soal Ibu kami selama bekerja," tandasnya.
Senada dikatakan keluarga Emah yang enggan disebutkan namanya. Pihak keluarga akan meminta bertanggungjawab atas peristiwa ini kepada pihak IPB.
Pasalnya, hanya ibunya dan Atiah yang menjadi korban hingga meninggal dunia.
"Nenek saya harus meregang nyawa di laut, kami sangat sedih atas kepergian nenek kami," tandasnya. (Gun/TN1)