TANGSEL, TitikNOL - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan mengkhawatirkan Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan peraturan no. 5 tahun 2020 tentang protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan (Perma No. 5/ 2020).
Pasalnya, dalam isian Perma no 5/2020 itu antara lain melarang pengunjung mengambil foto, video, dan mendokumentasikan persidangan dalam sidang terbuka untuk umum.
Direktur LBH Keadilan, Abdul Hakim Jauzie melalui keterangan rilis media yang berhasil diterima wartawan mengatakan, pihaknya khawatir ketentuan dalam Perma no 5/2020 tersebut akan melanggengkan mafia peradilan.
Meski, kata Hamim, bahwa larangan akan akan bisa gugur apabila pengambilan dokumentasi itu telah mendapatkan izin dari ketua majelis hakim.
"LBH Keadilan khawatir ketentuan tersebut akan melanggengkan mafia peradilan. Kami juga khawatir, ketua majelis hakim dengan mudah menolak permintaan izin. Selain itu ketentuan tersebut juga jelas bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberikan jaminan kepada jurnalis dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat,"terang Abdul Hakim Jauzie melalui keterangan resminya, Sabtu (19/12/2020).
Hamim menjelaskan, kekhawatiran tersebut muncul lantaran adanya pengalaman LBH Keadilan bahwa rekaman persidangan sangat bermanfaat untuk menghadirkan fair trial.
Misalnya, lanjut dia, LBH Keadilan pernah melaporkan hakim dengan alat bukti rekaman dalam persidangan. Hadirnya Perma No. 5/ 2020 itu tentu membuat pihaknya tidak bisa lagi menggunakan rekaman sebagai alat bukti.
"Mengenai larangan pengunjung sidang menggunakan telepon seluler untuk melakukan komunikasi dalam bentuk apa pun dalam Perma No. 5/2020, LBH Keadilan meminta agar aparatur pengadilan terlebih dahulu memberikan contoh kepada publik,"jelas Abdul Hakim Jauzie.
Kendati demikian, menurut Hamim, aparatur pengadilan diharapkan memberikan contoh lebih dahulu lantaran selama ini LBH Keadilan justru sering kali mendapati hakim, panitera pengganti menggunakan telepon selular.
Disisi lain perihal kewajiban mengenakan sepatu bagi setiap orang yang hadir dalam persidangan, LBH Keadilan berpendapat bahwa hal itu akan memberatkan orang miskin.
Pasalnya, LBH Keadilan yang kerap mendampingi orang miskin, misalnya sering mendapatkan keluhan dari terdakwa yang harus menyewa baju putih yang seolah menjadi baju yang wajib dikenakan untuk mengikuti persidangan.
"LBH Keadilan juga pernah meminta klien ke pengadilan untuk suatu keperluan. Namun karena ketidaktahuannya, klien itu memakai celana pendek, dan kemudian dilarang masuk. Kami kemudian meminjamkan toga untuk dikenakan namun petugas tetap melarangnya,"ungkapnya.
Pengalaman itu, kata Hamim lagi, terjadi saat persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sebab, Mahkamah Konstitusi juga menerapkan kewajiban bersepatu bagi pengunjung.
"Padahal klien kami yang baru datang dari kampung tidak mengenakan sepatu, dan kemudian disarankan petugas untuk meminjam sepatu kepada petugas keamanan. Saat pengembalian sepatu klien kami sempat diminta sejumlah uang oleh petugas keamanan tersebut," bebernya. (Don/TN1)