SERANG, TitikNOL - Plt. Komisaris Bank Banten Media Warman, menepis isu tentang diobralnya penjualan aset kreditur ASN ke Bank Banten, Rabu (01/07/2020).
Menurutnya, saat ini kreditur ASN dihargai oleh BJB 60 persen dengan nilai tahap pertama sekira Rp500 miliar. Dalam neraca Bank Banten, 40 persen merupakan sebuah piutang BJB ke Bank Banten. Jadi, 40 persen itu bukan keuntungan BJB, melainkan piutang.
“Jadi pada saat menjual aset ke BJB ini, pertama kali dihargai 60 persen sambil dilakukan verifikasi terhadap aset itu. Sisanya 40 persen tagihan kepada BJB. Jadi di sana dibukukan utang dia kepada Bank Banten. Di neraca kami nggak hilang, punya tagihan 40 persen. 60 persen berupa uang masuk, 40 persen tagihan,” katanya kepada awak media.
Ia menyebutkan, pembayaran tidak dilakukan penuh dikarenakan pihak BJB ingin memverifikasi kreditur ASN agar tidak terjadi bermasalah dalam hal persyaratan dalam mengajukan tunggakan.
“Tahap pertama Rp500 miliar dulu. Tahap kedua lihatlah, kalau uang investor masuk ngapain nambah lagi. Tapi proposal yang ditandatangani MoU sekitar Rp800 miliar yang diajukan, tapi bertahap,” tuturnya.
Jika pada perjalannya Bank Banten dinyatakan sehat dan memiliki uang dari isnvestor, kata dia, maka pihaknya akan membeli kembali debitur ASN yang telah dibeli BJB.
”Iya, kalau ada uangnya kami ambil lagi, beli lagi. Kalau RKUD pindah ke kami, ya kami lagi yang motong. Kalau Pemprov Banten nyetor dananya di kami, dinyatakan sehat, balik lagi dan beli lagi yang dibeli kesana,” ucapnya.
Warman menerangkan, bahwa nilai Rp1,9 triliun yang ada di Bank Banten bukanlah berbentuk uang. Melainkan sebuah aset catatan piutang ASN. Sebab, pada saat penarikan nasabah dan terjadi rush, Bank Banten butuh likuiditas.
“Rp1,9 triliun catatan piutang, kan Kasda di kami itu kesulitan likuiditas. Sebenarnya bukan Rp1,9 triliun, tapi 1,51 triliun catatan saja di piutang ASN,” terangnya.
Ia menjelaskan, persoalan Bank Banten menjadi kolev hingga dipindahkannya RKUD ke BJB oleh Gubernur Banten Wahidin Halim akibat adanya penarikan uang dari nasabah dalam jumlah besar sebanyak Rp900 miliar dalam satu hari.
Tidak lama kemudian, Pemprov Banten ingin menarik Kasda untuk penanganan pandemi Covid 19 dalam waktu yang cepat. Sedangkan, dana cadangan yang tersedia tidak selaras dengan kebutuhan Pemprov Banten. Sehingga, Gubernur Banten memindahkan RKUD ke BJB untuk mengambil uang Kasda.
“Akibat covid ada terjadi sesuatu, dimana ada kebutuhan dan pihak lain cukup besar, sehingga kami membutuhkan likuiditas. Ada 1, 2 nasabah yang menarik sampai Rp900 miliar dalam satu hari, malah repot. Sehingga penarikan RKUD oleh Gubernur dalam langkah menyelamatkan bukan yang ada, tapi menyelamatkan yang baru,” jelasnya.
Namun berdasarkan perintah OJK dalam upaya menyehatkan Bank Banten, Gubernur mengkonversi dana Kasda yang ada di Bank Banten menjadi penyertaan modal. Saat ini pun, sambung Warman, pihaknya telah membuat skema langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menarik insvestor dan menyehatkan Bank Banten.
“Gubernur mengkonversi yang di RKUD menjadi modal, memang yang kami butuhkan itu modal. Karena modal yang Rp600 miliar dulu dimasukan Provinsi Banten, pada saat dibeli pada tahun 2017 rugi Bank Banten Rp750 miliar. Masuk Rp600 miliar sudah nggak ada,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, sebelum adanya pemindahan RKUD, pihaknya membutuhkan modal sebanyak Rp1,8 triliun. Skema awal Pemprov akan menyertakan modal Rp175 miliar. Namun hal itu gagal total akibat pandemi virus Corona.
“Dibutuhkan dananya Rp1,8 triliun. Untuk menyehatkan ini Pak Gubernur tidak bisa sendiri, butuh mitra. Di bulan Juni kami akan coba awalnya Rp500 miliar, Rp175 miliar dari Provinsi, sisanya dari publik. Tetapi karena Covid, gagal,” tukasnya. (Son/TN1)