TitikNOL - Setelah menerima Supersemar, Letjen Soeharto selanjutnya melakukan tindakan-tindakan awal antara lain sebagai berikut, 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Lalu 18 Maret 1966, mengamankan menteri-menteri yang terlibat G 30 S/PKI Menginstruksikan kepada perguruan-perguruan tinggi yang ditutup untuk memulai kuliah lagi seperti biasa.
Rakyat menyambut baik adanya Supersemar kepada Letjen Suharto, bahkan KAMI dalam nota politiknya
yang disampaikan di depan sidang DPR-GR meminta kepada MPRS untuk memberikan tugas kepada Letjen Suharto seperti yang tercantum dalam Supersemar. Kedudukan Letjen Suharto setelah mendapat Supersemar semakin kuat dan sebaliknya kedudukan Presiden Sukarno semakin menurun.
Pada tanggal 20 Juni s.d 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum MPRS ke IV, sidang ini merupakan langkah konstitusional untuk mengoreksi pemerintahan Orde Lama. Sidang Umum MPRS IV menghasilkan beberapa ketetapan MPRS antara lain:
Tap MPRS No. IX / MPRS / 1966 tentang Supersemar
Tap MPRS No. XI / MPRS / 1966 tentang Pemilu
Tap MPRS No. XIII / MPRS / 1966 tentang Kabinet Ampera
Tap MPRS No. XXV / MPRS / 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebelumnya pada sidang umum MPRS IV ini Presiden Sukarno menyampaikan Pidato penjelasan tentang Peristiwa G 30 S / PKI pada 22 Juni 1966 yang diberi judul “Nawaksara” yang berisi sembilan pokok penjelasan tentang peristiwa G 30 S / PKI, tetapi pidato ini ditolak oleh peserta sidang, karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden/ Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S / PKI, oleh karenanya maka MPRS minta kepada Presiden untuk melengkapi “Nawaksara”.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Sukarno menyampikan Pelengkap Nawaksara, tetapi kembali Pelengkap Nawaksara juga tidak diterima oleh MPRS. Penolakan yang kedua atas penjelasan presiden ini menunjukkan bahwa Mandataris MPRS sudah tidak mendapat kepercayaan dari MPRS.
Atas prakarsa Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Februari 1967 bertempat di Istana Negara berlangsung penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Sukarno kepada penemban Tap MPRS No. IX / MPRS / 1966, Letjen Suharto.
Penyerahan Kekuasaan pemerintahan ini merupakan langkah penting dalam usaha mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak. Penyerahan kekuasaan pemerinthan ini secara konstitusional didasrkan pada Tap MPRS No. XV / MPRS / 1966 yang menyatakan “bahwa Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang surat Perintah 11 Maret memegang jabatan Presiden” Letjen Suharto pada penjelasannya tanggal 4 Maret 1967 tentang penyerahan kekuasaan pemerintahan tersebut, bahwa penyerahan kekuasaan tersebut hanya merupakan salah satu usaha dalam rangka penyelesaian konstitusional untuk mengatasi situasi konflik demi keselamatan rakyat, Negara dan bangsa, dan pemerintah berpendirian bahwa tetap perlu penyelesaian konstitusional lewat sidang MPRS.
Dengan memperhatikan perkembangan hal-hal tersebut di atas maka pada tanggal 7 Maret s.d 12 Maret 1967, MPRS mengadakan Sidang Istimewa. Sidang Istimewa MPRS ini antara lain menghasilkan Tap. MPRS No. XXXIII / MPRS / 1967 tentang Mencabut kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno dan mengangkat Pengemban Tap No. IX / MPRS / 1966 Suharto sebagai Pejabat Presiden. Selanjutnya pada 27 Maret 1968 Suharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. (marsosej.blogspot.com/Rif)