Minggu, 24 November 2024

Riz Ahmed, Aktor Muslim yang Taklukkan Stereotip Ras Hollywood

Riz Ahmed. (Dok: youtube)
Riz Ahmed. (Dok: youtube)

TitikNOL - Bukan hanya Felicity Jones dan Diego Luna yang menonjol dari Rogue One: A Star Wars Story, meski mereka adalah dua karakter paling utama. Aksi Riz Ahmed yang memerankan Bodhi Rook, seorang pilot Emperor yang berkhianat, juga termasuk salah satu yang menarik perhatian.

Bukan hanya karena Bodhi menerapkan kata-kata Galen Erso (Mads Mikkelsen), untuk berani mengikuti kata hatinya dan menyampaikan pesan ke kelompok pemberontak. Bukan juga karena ia bisa dengan mahir mengemudikan pesawat dan membuat perisai Emperor ‘berlubang.’

Bodhi menarik perhatian karena ia tetap hidup dan waras setelah diuji oleh Saw Gerrera (Forest Whitaker) dengan ‘gurita.’ Di satu sisi, terkait filmnya, itu membuktikan bahwa Bodhi jujur. Di sisi lain, terkait dunia nyata, artinya aktor berwajah Arab seperti Ahmed mulai diberi kesempatan untuk berakting sampai akhir di film sebesar lepasan Star Wars.

Meski sudah mulai berkarier—di bidang musik maupun film—sejak 2006, Ahmed tetap merasakan diskriminasi sebagai aktor berdarah Pakistan. Wajahnya memang Timur Tengah. Tapi ia lahir di Inggris, 34 tahun lalu. Besar di Negeri Kerajaan, Ahmed pun berkewarganegaraan Inggris.

Dari orang tua imigran Pakistan, Ahmed lulus belajar Filsafat, Politik, dan Ekonomi di Oxford University. Setelah itu, ia belajar akting di Central School of Speech and Drama.

Dari sana lah ia mendapatkan bekal untuk berakting di film independen The Road to Guantanamo. Perannya, tentu saja menjadi teroris. Berkat wajahnya yang kearab-araban. Ia menjadi salah satu anggota Tipton Three, warga negara Inggris yang dikirim ke Guantanamo.

Penangkapan mereka di Afghanistan ilegal. Tapi mereka juga disiksa seperti tahanan lain.

Film drama dokumenter itu mendapat banyak penghargaan. Dari Berlin Film Festival misalnya, ia mendapat Silver Bear Award. Aktor-aktornya berhasil membuat tahanan yang selama ini hanya dikenal sebagai kriminal berseragam oranye, menjadi lebih manusiawi.

Tapi film itu juga mengembalikan Ahmed ke masa kecilnya. Di Bandara Luton, sepulang meraih penghargaan di Berlin, ia digiring petugas ke ruang kecil untuk diperiksa lebih lanjut. Di sana ia ditanyai secara paksa, disinggung, diancam, bahkan diserang secara fisik.

Ia jadi teringat masa kecilnya, di mana ia dan saudara laki-lakinya pernah diancam dengan pisau di leher mereka hanya karena wajah yang Timur Tengah. Kulit yang lebih gelap.

“Film apa yang Anda buat? Apakah Anda menjadi aktor untuk melanjutkan perjuangan sebagai Muslim?” demikian petugas di bandara itu berteriak padanya, sambil memelintir lengannya.

Tak ayal, itu membuatnya sedih. Mungkin juga marah. Sebab Ahmed menjadi aktor salah satunya karena ingin merenggangkan cekikan di lehernya—yang terasa seperti todongan pisau di masa kecilnya. Saat itu ia merasa, jika film fantasi saja bisa membuat mutan dan alien seperti manusia, maka ia punya harapan. Muslim, kulit gelap, pun bisa dimanusiakan.

Jika ia berhasil, anak kecil atau remaja yang senasib dengannya, bisa hidup lebih enak.

Tapi ia justru tercekik.

“Presentasi latihan tentang Al-Qaedah untuk serangan yang ‘teatrikal’ sepertinya ditelan terlalu mentah-mentah,” kata Ahmed tentang kejadian itu, seperti dalam tulisan panjangnya di The Guardian pada pertengahan tahun ini, yang berjudul Typecast as A Terrorist.

Dari situ ia terinspirasi membuat lagu, berjudul Post 9/11 Blues. Sebab setelah kejadian 9/11, fobia terhadap teroris dan Islam memang semakin nyata. Ia sendiri merasakannya.

Ahmed juga jadi berpikir, menjadi aktor baginya, yang seorang Muslim, ada tiga tahap. Pertama adalah stereotip dua dimensi. Ia akan menjadi sopir taksi, teroris, atau pemilik toko di sudut jalan. Klise, tapi itulah stereotip Muslim berwajah Arab di dunia film.

Tahap ke-dua, potret subversif. “Masih tentang ‘area’ etnis, tapi berusaha menantang stereotip yang ada. Itu akan sedikit melonggarkan cekikan,” tulis Ahmed memaparkan.

Hollywood ada di tahap ke-tiga. “Tanah yang menjanjikan,” sebutnya. “Di mana Anda bisa memainkan karakter yang di dalam cerita itu tak ada kaitannya dengan ras. Di sana, saya tidak akan menjadi tersangka teroris maupun korban pernikahan yang dipaksa. Di sana, nama saya bahkan mungkin menjadi Dave. Kalau sudah di tempat ini, tak ada lagi cekikan.”

Menariknya, cerita soal tangan yang dipelintir—dan tentu saja kualitas aktingnya di beberapa film lain seperti Shifty, Baghdad Express, Four Lions, Rage, Four Lions, Centurion, Black Gold, Trishna, Ill Manors, The Reluctant Fundamentalist, Closed Circuit, dan Out of Darkness—itu membuat Ahmed melangkah ke tahap ke-dua dalam berakting.

Ia mulai mendapat peran-peran lain yang mencoba menantang stereotip yang ada.

Sampai lah ia ke tahap ke-tiga. Hollywood. Yang menurutnya belakangan mencoba lepas dari semua stereotip. Yang bisa membuatnya menjadi pria biasa bernama Dave atau lainnya.

Tapi itu ternyata tidak mudah. Ruang audisi terasa seperti ruang interogasi di bandara. Ia dilihat dari rambut, warna kulit, wajah, dan fisik lainnya. Tidak hanya ‘hanya pria bernama Dave.’ Sekali lagi, ia dicekik. Tapi kelamaan, setelah mencoba berusaha menghindari ruang audisi semacam itu, ia justru menghadapi hal yang sama seperti di Luton.

Kali ini di bandara AS. Dengan paspor yang punya cap Irak, Afghanistan, bahkan Arab Saudi—itu karena main di The Road to Guantanamo—ia mendapat perlakuan serupa. Digiring ke ruang khusus tanpa penjelasan. Diberi cap P, alias Protokol. Dicurigai. Ditanya-tanyai.

“Saya dimasukkan ke ruangan yang mendadak terasa akrab,” tulisnya.

“Afghanistan? Film macam apa yang Anda buat di sana? Anda tahu orang lain yang ingin mengancam AS?” demikian mereka melontarkan pertanyaan. Saat tahu ada novel Mohsin Hamid yang berjudul The Reluctant Fundamentalist di kopernya, ia ditanya lagi, “Buku apa ini?”

“Saya menjelaskan, tapi dia seperti tidak mau mendengarkan,” tutur Ahmed.

Presentasi latihan tentang Al-Qaedah untuk serangan yang ‘teatrikal’ sepertinya ditelan terlalu mentah-mentah.
Riz Ahmed

Untung ia akhirnya lolos pemeriksaan. Tapi penghakiman tetap ada di mata orang-orang yang ia temui. Teman dari teman yang ikut makan di restoran. Petugas kepolisian. Siapa pun. Ia pernah dua kali mendapat cap 'Section 221G' saat mengajukan visa kerja ke AS, dari Inggris.

Itu artinya ia perlu pemeriksaan latar belakang yang lebih menyeluruh.

Ia pernah melihat surel korespondensi antara AS dengan pengacaranya. “Bill, saya sedang melihat klien Anda, Mr. Ahmed. Nama yang terdengar sangat Inggris ya? Saya menonton lagu Post 9/11-nya, apa ada kaitannya dengan rutinitas ‘I heart Osama?’“ demikian surel itu.

Ahmed sukses melewati itu semua. Wajahnya kini akrab di layar kaca maupun layar lebar. Ia membintangi serial HBO, The Night Of. Ada stereotip rasis di sana, mengingat ia berperan sebagai sopir taksi tersangka pembunuh yang bernama Nasir Khan, hanya karena ia ‘Arab.’

Tapi ia juga pernah bermain di Nightcrawler bersama Jake Gyllenhaal. Namanya juga tercatat di Jason Bourne. Terakhir, ia bermain di Rogue One: A Star Wars Story. Akhirnya, ia benar-benar terlepas dari stereotip ras maupun agama. Ia bermain dalam film populer bikinan LucasFilm dan Disney, yang di sepekan pembukaan saja sudah meraih US$357 di Amerika Utara.

Film itu juga wadah bagi campuran ras. Ada wajah oriental, Barat, maupun Timur Tengah di sana. Ia pun mendapat peran yang bukan sekadar kameo. Bisa dibilang, Ahmed sudah benar-benar sampai di tahap ke-tiga aktingnya. Tapi apakah ia bisa melonggarkan cekikan remaja Muslim yang dahulu seusianya, sehingga mereka tak lagi dihakimi hanya karena fisik belaka?

Yang jelas, saat ini saja Ahmed masih punya banyak proyek lanjutan. Ia punya empat album, filmnya pun masih mengantre. Membuat lagu dan main di atas pentas juga masih dilakoninya.

Sumber: www.cnnindonesia.com

Komentar