SERANG, TitikNOL - Puluhan mahasiswa menggelar aksi di depan markas Polda Banten pada Senin (24/8/2020). Dalam aksinya, pendemo menuntut agar penanganan kasus pengeroyokan disabilitas yang terjadi di Desa Sukajaya, Kabupaten Pandeglang, dapat diusut secara tuntas.
Pendemo juga menyoroti pernyataan dari pihak kepolisian yang menyatakan, bahwa korban pengeroyokan bernama Anta, bukanlah penyandang disabilitas melainkan orang dengan gangguan jiwa.
Dalam aksinya, para mahasiswa yang terdiri dari HMI MPO Cabang Serang, Hima PKh Untirta dan Koreda Banten itu membentangkan karton bertuliskan #KeadilanUntukAnta, '5 Bulan Kasus Tak Kunjung Jelas, Polisi Ngapain Aja?' dan 'Tunagrahita bukan orang gila'.
Beberapa saat melakukan aksi, pihak Polda Banten pun melakukan komunikasi dengan massa aksi. Dalam komunikasi tersebut, massa aksi meminta agar pihak Polda Banten menerima perwakilan massa aksi dan keluarga korban yang hadir.
"Kami datang ke sini untuk meminta keadilan atas kasus yang menimpa saudara kami Anta. Sudah 5 bulan kasus ini mandek di Polsek Cadasari, sedangkan kasus ini melibatkan anak berkebutuhan khusus," ujar Ketua Umum HMI MPO Cabang Serang, Diebaj Ghuroofie.
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Polda Banten menerima perwakilan dari massa aksi serta keluarga korban. Namun sayang, Polda Banten tidak mengizinkan awak media untuk ikut meliput audiensi yang dilangsungkan di Ditreskrimum tersebut.
Sekitar satu jam, audiensi tersebut akhirnya selesai. Ditemui seusai audiensi, Diebaj menyampaikan bahwa tuntutan yang dilayangkan oleh pihaknya hanya dua, jalankan proses hukum sesuai dengan aturan yang berlaku dan menuntut Polsek Cadasari meminta maaf.
"Karena kami melihat Polsek Cadasari ini tidak serius dalam melakukan penyelidikan. Padahal barang bukti berupa foto sudah ada, pengakuan dari salah satu orang yang ada di foto pun sudah ada. Tapi kenapa ini bisa sampai berlarut-larut," katanya.
Selain itu, ia menyesalkan pernyataan yang dilontarkan oleh Polsek Cadasari yang menyatakan, bahwa Anta merupakan orang dengan gangguan jiwa. Padahal secara jelas, Anta merupakan penyandang disabilitas dengan karakteristik Tunagrahita.
"Ini merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh kepolisian. Jangan sampai hal ini kembali terjadi. Apalagi saat ini para pegiat dan penyandang disabilitas, sedang memperjuangkan penghapusan diskriminasi," tegasnya.
Di tempat yang sama, kuasa hukum korban Ade Sugiri mengatakan, bahwa audiensi yang dilakukan pihak keluarga dan dijembatani oleh para mahasiswa, merupakan upaya pihak keluarga untuk mempertanyakan kinerja penyidik Polsek Cadasari.
"Yang kami pertanyakan yakni kinerja daripada Polsek Cadasari yang kami nilai tidak sesuai dengan Perka Polri nomor 6 tahun 2019. Terkait masalah SP2HP, klien saya menerimanya itu dua bulan setelah pelaporan. Itu pun harus diminta. Padahal itu hak dari klien saya," tuturnya.
Menurutnya, kinerja dari Polsek Cadasari tidak profesional. Pasalnya, selain dari prosedur pemberian SP2HP yang tidak sesuai, juga karena tidak jelasnya koordinasi di Polsek Cadasari berkaitan dengan pelimpahan berkas.
"Terakhir klien saya berkomunikasi, katanya berkas sudah dilimpahkan ke Polres Pandeglang. Tapi keesokan harinya, ternyata yang datang ke rumah korban itu penyidik dari Polsek Cadasari. Jadi pelimpahan berkasnya juga kami pertanyakan," tegasnya.
Dengan adanya audiensi tersebut, ia berharap dapat menemukan titik terang dari kasus yang sudah berbulan-bulan tidak kunjung ada kejelasan itu. Selanjutnya, Ade juga menyampaikan bahwa Kasatreskrim Polres Pandeglang, AKP Muhammad Nandar, membuka peluang agar pihaknya dapat mengawal kasus itu secara transparan.
"Mudah-mudahan komunikasi yang terjalin antara kami dengan Polres Pandeglang dapat berjalan optimal. Karena pak Kasatreskrim yang hadir dalam audiensi juga memberikan lampu hijau," jelasnya. (TN)