SERANG, TitikNOL - Dalam rangka memperingati dan menularkan semangat Record Store Day Serang (RSD) 2018 sebagai sebuah perayaan menghargai karya musisi, House Of Salbai 34 Venue menggelar diskusi bersama 3 pelaku industri musik dari Kota Serang dan Cilegon.
Diskusipun akan digelar di House Of Salbai 34 Venue di Cimuncang, Kecamatan Serang, Kota Serang, pada 28 April 2018 mendatang.
Kegiatan ini didasari karena daya beli masyarakat Kota Serang terhadap album fisik masih tergolong rendah. Tagar #SupportYourLocalMovement yang ramai beredar dulu, belum berimplikasi terhadap budaya menghargai karya pelaku seni.
“Kondisi itu diperparah dengan ketiadaan music store di Kota Serang yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa hanya segelintir masyarakat Serang yang masih setia untuk melestarikan budaya mengoleksi rilisan fisik,” kata Project Manager Salbai 34 Venue Imam Widi.
Imam menjelaskan lewat RSD ini, Salbai 34 Venue juga ingin memberi stimulus kepada musisi lokal untuk tidak pesimis dalam menghasilkan karya dalam bentuk fisik. Karena bagaimana pun, sebagai musisi, parameter keseriusan mereka dalam bermusik akan diukur melalui karya fisik.”Untuk mengkampanyekan pentingnya rilisan fisik, tidak bisa dilakukan sendiri, harus bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk pelaku industri itu sendiri,” jelasnya.
Maka untuk membahas fenomena dan mengaungkan semangat rilisan fisik, akan diadakan diskusi bersama 3 pelaku industri musik dari Kota Serang dan Cilegon. Mereka adalah Andre “Begeng”, vokalis band punk, Clinic yang juga merupakan founder dari Dropout Venue yang pernah menangani sejumlah musisi Kota Cilegon. Lalu Al Suherlan, produser muda yang memiliki label SHRLN Record. Kemudian ada nama Nanda Wheelys, kolektor dan pemilik Kassettanan Cassette.
“Tidak hanya itu, Salbai 34 Venue juga akan menyuguhkan penampilan band Punk Rock yang sudah menelurkan 3 album studio, Suck It 26. Termasuk unit rock asal Cilegon, Standar Satu dan The Petunjuxxx. Kedua band itu akan turut meluncurkan album perdana mereka secara eksklusif dalam Record Store Day Serang 2018,” ungkapnya.
Dalam RSD Serang 2018 ini juga akan diluncurkan secara eksklusif album kompilasi Record Store Day Serang 2018 yang merekrut 34 band dari seluruh daerah di Banten dengan berbagai genre musik. Project ini album non provit yang diinisiasi House Of Salbai 34 Venue, SHRLN Record, dan Insomnia Entertainment.
“Sejumlah tenant yang menjual rilisan fisik dan merchandise original musisi juga akan bergabung untuk menyemarakan gelaran RSD Serang 2018. Diharapkan dengan kehadiran tenant-tenant itu, dapat mentriger penikmat agar lebih menghargai rilisan fisik. Sekaligus memacu semangat musisi untuk terus berkarya,” tegasnya.
Perlu diketahui, Record Store Day (RSD) diselenggarakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 2007 di sebuah pertemuan para pemilik toko rekaman independen. Ini adalah cara untuk merayakan dan menyebarkan budaya rilisan fisik diratusan toko musik yang dimiliki secara independen di Amerika dan ribuan toko sejenis diberbagai dunia. Sejak itu tiap tahun berbagai belahan dunia dari beragam musisi, label dan toko independen merayakan rilisan fisik ini.
Di Indonesia, RSD mulai dirayakan sejak tahun 2011 yang diinisiasi oleh kota-kota besar. Sejak beberapa tahun lalu, RSD bukan hanya sebagai budaya untuk melestarikan rilisan fisik, namun sudah menjadi industri bagi sebagian pihak, khususnya kalangan Sidestream. Karena semangat RSD, geliat rilisan fisik mulai hidup lagi setelah digempur oleh pembajakan dan Ring Back Tone (RBT).
Meski wabah pembajakan dan RBT mulai merosot, tidak serta-merta membuat gerakan melestarikan rilisan fisik membumi dalam waktu sekejap. Memasuki era digital saat ini, tantangan perkembangan rilisan fisik kembali diuji. Berbagai layanan musik digital seperti Itunes, Spotify, Joox, dan lain sebagainya, menjadi “godaan” bagi penikmat musik. Digital seolah memberi kemudahan bagi pendengar dalam menikmati musik musisi idolanya.
Ironisnya, justru banyak musisi yang “main aman” dengan digital. Mereka seolah enggan mengeluarkan bentuk fisik karena alasan pendapatan yang abu-abu. Tidak bisa disalahkan memang. Tetapi bagi para pecinta “mahakarya”, tentu itu bukan kabar baik. Karena di kacamata penggemar rilisak fisik, album fisik adalah sebuah aset bahkan tidak jarang dijadikan sebagai investasi.
Banyak yang mengakui bahwa lewat rilisan fisik, sebuah karya musik akan terekam dan tidak akan pernah mati. Rilisan fisik akan menjadi sejarah, tidak hanya bagi penggemar, namun bagi bangsa itu sendiri.
Namun yang wajib disyukuri adalah, kini budaya melestarikan sejarah melalui rilisan fisik bukan semakin lemah, justru sebaliknya. Setidaknya fakta itu bisa dilihat dari label rekaman independen seperti Demajors atau Organic Record yang tetap mengedepankan rilisan fisik dibanding digital. Hasilnya? Musisi-musisi yang mereka naungi seringkali menjadi headline berbagai jenis acara dilevel nasional.
Apalagi gerakan RSD diberbagai wilayah juga semakin masif digalakkan. Hal itu menunjukkan bahwa rilisan fisik masih menjadi benda wajib yang harus dimiliki. Event RSD disejumlah kota selalu diminati baik oleh label rekaman sidestream, musisi, kolektor, hingga penikmat. (Gat)