TitikNOL - Gangguan tidur sering kali dihubungkan dengan kondisi kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi. Hal serupa juga terjadi pada pasien dengan kecemasan, bipolar, dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Ada lebih dari 70 jenis gangguan tidur dan yang paling umum adalah insomnia (sulit tertidur), obstructive sleep apnea (gangguan pernapasan saat tidur), dan berbagai sindrom yang membuat tidur gelisah, serta narcolepsy (mengantuk ekstrem pada siang hari).
Berbagai gangguan tidur rupanya bukan hanya sekadar gejala, tetapi bisa jadi penyebab dari kondisi kesehatan mental seseorang.
"Seberapa baik kita tidur sebenarnya bisa berperan dalam kesehatan mental kita," kata penulis studi utama Daniel Freeman, seorang profesor psikologi klinis di Universitas Oxford.
"Jika Anda bisa menyelesaikan masalah tidur Anda, Anda juga bisa mengambil langkah maju yang signifikan dalam mengatasi berbagai masalah psikologis dan emosional," lanjutnya.
Studi terbaru, yang diterbitkan pada 6 September 2017 di jurnal The Lancet Psychiatry, melibatkan lebih dari 3.700 mahasiswa Inggris penderita insomnia, dengan usia rata-rata 24 tahun.
Semua peserta mengisi kuesioner tentang kondisi tidur dan kondisi kesehatan mental lainnya, termasuk paranoia, halusinasi, kecemasan, dan depresi.
Pengisian kuesioner dilakukan pada awal penelitian, kemudian setelah tiga dan sepuluh minggu. Dua belas minggu kemudian, para peserta mengisi kuesioner untuk terakhir kalinya.
Orang-orang dalam penelitian ini secara acak ditugaskan ke kelompok perawatan atau kelompok kontrol. Mereka yang berada dalam kelompok perawatan berpartisipasi dalam program cognitive behavioral therapy (terapi kognitif dan perilaku/CBT). Sedangkan orang dalam kelompok kontrol tidak menerima CBT.
CBT berfokus pada cara orang berpikir, dan membantu mereka menantang pemikiran dan keyakinan mereka sendiri.
Juga ada tipe khusus CBT untuk insomnia, yang disebut CBT-I, dianggap sebagai terapi "lini pertama" untuk orang dengan insomnia yang berlangsung lebih lama dari satu bulan, menurut American College of Physicians.
Program daring melibatkan enam sesi dan para peserta diminta untuk menyimpan buku harian tidur, mempraktikkan teknik perilaku tertentu, dan belajar tentang tidur yang sehat, menurut penelitian tersebut.
Dengan menggunakan data dari buku harian tidur, program ini disesuaikan dengan nasihatnya kepada masing-masing peserta.
Para peneliti menemukan bahwa setelah 10 minggu, orang-orang di kelompok perawatan melaporkan lebih sedikit insomnia, lebih sedikit halusinasi, dan sedikit pengalaman paranoia daripada kelompok kontrol.
Selain itu, orang-orang di kelompok perawatan mengalami penurunan tingkat depresi dan kecemasan, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis, dibandingkan dengan orang-orang dalam kelompok kontrol.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa 60 persen penurunan tingkat paranoid dapat dikaitkan dengan tidur yang lebih baik.
Temuan menunjukkan bahwa tidur memainkan peran penting dalam kesehatan mental dan bahwa dokter harus menganggapnya sebagai prioritas untuk memperbaiki tidur pasien, para peneliti menulis.
"Sudah terlalu lama insomnia diremehkan hanya sebagai gejala kondisi kesehatan mental lainnya dan telah dianggap sebagai masalah yang harus ditangani. Namun, bagi banyak orang, insomnia bisa menjadi bagian dari paket kompleks penyebab kesulitan kesehatan mental," kata Daniel.
Para peneliti mencatat bahwa penelitian tersebut memiliki keterbatasan. Misalnya, banyak orang tidak menyelesaikan penelitian ini, jadi tidak jelas apakah temuan tersebut akan berlaku untuk kelompok orang yang lebih besar.
Hanya setengah dari peserta yang masuk ke dua sesi terapi dan hanya 18 persen yang masuk ke enam sesi.
Selain itu, para peserta melaporkan gejala mereka sendiri, yang bisa menjadi metode yang tidak dapat diandalkan.
Penelitian lain dilakukan dengan menggunakan metode dan populasi yang berbeda memperkirakan bahwa 65-90 persen pasien dewasa dengan depresi berat, dan sekitar 90 persen anak-anak dengan gangguan ini, mengalami beberapa jenis masalah tidur.
Sebagian besar penderita depresi mengalami insomnia, namun sekitar satu dari lima orang menderita obstructive sleep apnea, seperti ditulis dalam Harvard Health Publications, Harvard Medical School.
Masalah tidur juga meningkatkan risiko terkena depresi. Studi longitudinal dilakukan terhadap sekitar 1.000 orang dewasa yang berusia 21 sampai 30 tahun. Peserta terdaftar di sebuah organisasi perawatan kesehatan Michigan.
Hasil studi menemukan bahwa, dibandingkan dengan orang yang tidur normal, mereka yang melaporkan riwayat insomnia empat kali lebih mungkin mengalami depresi berat.
Dua penelitian longitudinal pada anak muda, yang melibatkan 300 pasang anak muda dan termasuk 1.014 remaja, menemukan bahwa masalah tidur berkembang sebelum depresi berat terjadi.
Berita ini telah tayang di beritagar.id, Jumat 15 September 2017 dengan judul Kurang tidur sebabkan penyakit mental