SERANG, TitikNOL - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten mengirim surat kepada Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, buntut dari disebutnya daerah tersebut menjadi lumbung pengangguran Indonesia.
Penjabat (Pj) Gubernur Banten, Al Muktabar, menjelaskan pihaknya telah menyampaikan bahwa data BPS dianggap belum memadai keakuratannya. Menyusul, lanjutnya, metodologi survey yang digunakan bukanlah sensus atau pencacahan lengkap terhadap seluruh unit populasi yang menjadi objek pengamaran wilayah.
Terkait pernyataan Al di atas, Pemprov Banten telah mengirim surat kepada BPS perihal usulan data pengangguran agar dihimpun melalui metodologi sensus sehingga tidak lagi menggunakan cara survey.
"Satu bulan lalu saya sudah mengirimkan surat ke BPS, terkait dengan lapangan kerja atau pengangguran kita disebut pengangguran yang tinggi, nah kita ingin untuk pengangguran itu metodeloginya bukan survei tetapi sensus," katanya.
Dia menjelaskan, dengan melakukan sensus maka jumlah pengangguran akan diketahui secara detail dan dapat terpantau satu persatu.
"Metodelogi survei itu kan kita tidak tahu semua orangnya dimana dan siapa. Kalau sensus kan kita tahu dimana alamatnya siapa orangnya" ujarnya.
Apalagi kata Al Muktabar, jika dilihat dari data jumlah penduduk, masyarakat Banten yang usia angkatan kerja sebanyak 6,3 juta. Dan dari jumlah tersebut, jumlah pengangguran itu hanya ada dikisaran 2 persen.
"Kita melihat instrumen, kita ngecek ke kabupaten/kota. Kalau kita lihat, 6,3 juta penduduk Banten yang usia kerja, itu pencari kerja dengan data kartu kuning atau pencari kerja, itu kabupaten/kota kemarin hanya 45 ribu orang. Atau katakanlah kali dua, 90 ribu. Kalau 90 ribu orang dari 6,3 juta penduduk Banten usia kerja, itu berarti (pengangguran, red) kurang dari 2 persen," ucapnya.
Kendati demikian, Al Muktabar masih mengakui data survei yang telah dikeluarkan secara resmi oleh BPS.
"Kan datanya begitu. Makanya saya sudah nulis surat ke BPS di Jakarta, dari hasil survei itu, kami mohon harus menyelesaikan bukan untuk lain-lain. Saya patuh data yang disurvei-kan, dengan data itu, tetapi kita minta diberitahu siapa orangnya dimana, syukur kalau bisa sampai ke problem kerjanya apa," ungkapnya.
Dengan data yang jelas, siapa dan dimana saja terdapat pengangguran nantinya lanjut Al Muktabar, pihaknya dapat membuat rumusan kebijakan yang mampu menyelesaikan persoalan. Apalagi investasi di Provinsi Banten setiap tahun selalu mengalami kenaikan dan peningkatan.
"Itu penting sekali nanti mengatur pendekatan dalam rangka penempatan tenaga kerja itu, Karen investasi di kita kan meningkat. Itu kan ikhtiar kita dalam menarik lapangan kerja. Makanya kita harus sensus, jangan lagi survei," ungkapnya.
Pendaftaran dengan metodelogi sensus lanjut Al Muktabar sudah diterapkan dalam penangangab Stunting di Provinsi Banten. Pemerintah Daerah mampu menangani secara holistik
"Seperti hal Stunting, kita sepakati metodelogi nya adalah sensus. Metodologinya elektronik pencatatan langsung oleh masyarakat melalui PKK, Posyandu, Puskesmas. Dan berapa data Stunting datanya hanya 35 ribu. Nah dari balita Banten jumlahnya 824 ribu orang, berarti Stunting kita hanya sekitar 4 persen. Bahkan kita sudah sampai penanganan Stunting dengan penyakit penyerta, misalnya, dia TBC, kita rawat di rumah sakit, BPJS kita kan UHC sudah 99 persen jadi sangat terukur pendekatannya. Itu lah yang saya sampaikan pada saat rapat dikantor Wapres, jadi harus dipahami juga, karena kita yang paling tahu tentang keadaan dikita," pungkasnya.
Diketahui, BPS merilis daftar daerah dengan pengangguran terbanyak di Indonesia hingga saat ini Banten berada di urutan pertama.
Dari data yang ada Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 4,82 persen. Jika dirinci, ada 7,20 juta pengangguran tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dari jumlah 7,2 juta sebanyak 7, 02 persen ada di Provinsi Banten. Sedangkan daerah lainnya seperti Kepulauan Riau ada 6,94 persen, Jawa Barat 6,91 persen, DKI Jakarta 6,03 persen, Papua Barat Daya 6,02 persen.
Sementara TPT berdasarkan jenis kelamin, ada 5,42 persen pengangguran laki-laki dan 5,15 persen lainnya wanita. Dan jumlah pengangguran dari 2020 hingga 2023 masih banyak tersebar di perkotaan. Ada 6,40 persen TPT di perkotaan pada, dibanding dengan 3,88 persen TPT di pedesaan.