Komnas PA Catat Ada 5 Kasus Kekerasan Seksual di 2023, Peristiwanya Terjadi di Pesantren

Ilustrasi. (Dok: Sumselupdate)
Ilustrasi. (Dok: Sumselupdate)

BANTEN, TitikNOL - Tindakan kekerasan seksual telah menghantui masyarakat di wilayah Provinsi Banten. Bahkan pelaku dan korban berada di lingkungan pesantren.

Sepanjang tahun 2022, Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten mencatat ada 12 kasus kekerasan seksual di pesantren.

Di awal tahun 2023, sudah ada lima kasus tindakan asusila yang terjadi di lingkungan pesantren.

Ketua Komnas PA Banten, Hendry Gunawan mengatakan, kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di lingkungan pesantren di Banten menjadi keprihatinan serius.

Menurutnya, pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman dan penuh kasih sayang bagi para santri, untuk belajar dan mendapatkan pendidikan moral yang baik.

"Namun, kenyataannya, pesantren acapkali menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual yang merugikan masa depan para santri," katanya.

Berdasarkan data pendampinan kasus di tahun 2022, Komnas Anak Provinsi Banten memberikan pendampingan terhadap kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, yang terjadi sebanyak 12 kasus.

Dengan rincian tiga kasus di Kota Serang, tujuh kasus di Kabupaten Tangerang, dan dua kasus di Kabupaten Serang.

Sedangkan di awal tahun 2023 telah terjadi 5 kasus kekerasan seksual di pesantren yang menimpa para santri.

Di Kota Serang, terdapat kasus kekerasan seksual terhadap seorang santri yang melahirkan di pondok.

Tidak hanya itu, pimpinan pondok Pesantren Kasemen dan Pesantren Tanara juga terlibat dalam kasus kekerasan seksual.

"Selain itu, Ustaz di Pesantren Petir juga dilaporkan terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual juga dilaporkan terjadi salah satu pesantren di Bandung, Kabupaten Serang," ucapnya.

Ia menerangkan, pelaku kekerasan seksual dalam beberapa kasus terakhir adalah pengasuh dan pimpinan pesantren. Bahkan tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan bagi para santri.

"Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dalam menangani kasus kekerasan seksual di pesantren," terangnya.

Ia menjelaskan, evaluasi internal pesantren menjadi langkah awal yang perlu dilakukan dari internal pesantren dalam menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Evaluasi ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berkala, mencakup pemeriksaan latar belakang tenaga pengajar dan staf pesantren, pengawasan kegiatan santri, serta peningkatan kualitas pendidikan seksual bagi santri dan staf pesantren.

Selain itu, pesantren juga perlu memiliki mekanisme pengaduan yang jelas dan transparan bagi santri dan orang tua santri yang menjadi korban kekerasan seksual.

Berdasarkan, peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama, dapat menjadi pedoman bagi pesantren dalam menyusun langkah-langkah preventif dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Kemudian, tokoh agama juga perlu memberikan pemahaman kepada anak-anak santri tentang pentingnya memberikan perlindungan terbaik kepada teman sebaya dan menjauhkan para santri dari kekerasan seksual.

Partisipasi aktif masyarakat di sekitar pesantren dan juga orang tua santri diperlukan dalam melakukan pengawasan terhadap kejadian kekerasan seksual di lingkungan pesantren.

Pengawasan ini dapat dilakukan dengan melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi ke pihak berwenang atau memberikan informasi kepada pesantren terkait tindakan pelaku kekerasan seksual yang dicurigai.

"Masyarakat juga dapat memberikan dukungan moral kepada korban dan keluarga korban untuk memperkuat semangat mereka dalam menghadapi kasus kekerasan seksual," jelasnya.

Dalam upaya memperkuat langkah-langkah pencegahan dan penanganan kasus, perlu diperkuat dengan kebijakan tegas agar pesantren menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi para santri.

"Tentu kita semua berharap, jangan sampai bayangan kekerasan seksual yang mengerikan menghalangi orang tua untuk memasukkan anak mereka ke pesantren," ungkapnya.

Dengan begitu, orang tua akan merasa tenang dan yakin ketika menitipkan anaknya di pesantren, sekaligus tetap mempercayakan pendidikan agama dan moral pada lembaga yang sudah teruji dalam mendidik para santri menjadi pemimpin di masa depan.

"Pesantren kita harapkan menjadi benteng moral di tengah penetrasi teknologi kepada anak-anak yang luar biasa saat ini," ucapnya.

Yang paling penting, keselamatan dan pendidikan moral para santri harus menjadi prioritas utama dalam pesantren.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama dari pesantren, tokoh agama, masyarakat, dan pihak berwenang dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual.

"Kebijakan dan prosedur yang ada harus diperkuat dan disempurnakan, sementara pemahaman dan pengawasan terus-menerus harus dilakukan untuk mencegah kasus kekerasan seksual terjadi," tutupnya. (TN3)

Komentar