LEBAK, TitikNOL - Penyelidikan kasus dugaan korupsi pada program pengadaan Fingerprint (absensi elektronik) yang dilakukan oleh Kejaksaan negeri (Kejari) Lebak, hingga saat ini belum menemui titik terang soal tindak lanjutnya.
Padahal, Kejari Lebak beberapa waktu lalu sudah memanggil para pihak yang dianggap mengetahui dan terlibat dalam proses pengadaannya, termasuk kepala Sekolah Dasar (SD) dan pihak penyedia barang.
Pengakuan adanya pemanggilan oleh pihak Kejari Lebak pun muncul dari beberapa pihak ketiga, sebagai pihak pengadaan barang Fingerprint yang bersumber dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) 2018 sebanyak 900 unit itu.
Kepada TitikNOL, dua pengusaha pengadaan absensi elektronik itu mengaku sudah diperiksa dan dimintai keterangan oleh pihak Intelijen Kejari Lebak. HU dari CV. AP dan RL dari CV. TP mengakui jika dalam proses pengadaannya melibatkan banyak pihak.
Diakui HU, tidak hanya dirinya yang diperiksa pihak Intelijen Kejaksaan. Namun dua pengusaha lainnya yakni RZ dan WH dari CV. TP dan CV. AI juga turut diperiksa.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak Intelijen kata HU, karena ada dugaan kemahalan harga dalam pengadaan absensi elektronik yang disampaikan pihak Intelijen Kejari Lebak.
"Memang dalam pemberitaan itu, poinnya termasuk sama (ada dugaan kemahalan harga) dengan pertanyaan Kejaksaan waktu di BAP," kata HU, saat ditemui TitikNOL belum lama ini di Rangkasbitung.
Kendati begitu, HU mengaku sudah memberikan keterangan kepada pihak Intelijen Kejari secara detail, dari mulai proses pengadaan, spesifikasi, jenis dan merk sesuai kategori hingga fingerprint terdistribusikan dan terpasang ke sekolah SD dan SMP yang melakukan pemesanan fingerprint kepada CV. AP.
Dalam pemeriksaan oleh pihak Intelijen Kejari pun, HU menyebut sempat mempertanyakan pihak mana yang dirugikan. Sebab kata HU, pihak sekolah tidak ada yang komplain. Selain itu, kalau ada laporan dari masyarakat, masyarakat yang mana harus dijelaskan oleh pihak Intelijen Kejari.
"Makanya kan gini, kita sempat di BAP. Debat saya dengan pihak Intelijen, saya ingin tahu kalau ada laporan dari masyarakat. Ok, saya kembalikan kalau memang itu sekolah merasa keberatan," imbuh HU.
"Kita pengusaha tidak keberatan kalau barang itu dikembalikan, enggak jadi masalah kita kembalikan uangnya. Selesai kan, enggak ada masalah hukum, jadi artinya tidak ada kerugian negara," tukas HU menambahkan.
Dilain pihak, RL penyedia fingerprint dari CV. TP mengatakan, bahwa fingerprint yang dipasarkan pihaknya ke sekolah SD di Lebak berasal dari HU.
"Saya mah hanya ikut - ikutan usaha doang, dalam artian barangnya (fingerprint) juga dari pak HU ngambilnya. Makanya saya juga sempat dipanggil Kejaksaan oleh Kasi Intelijen. Untuk SD sekitar 100 unit lebih yang saya kirim," terang RZ.
Baca juga: Penanganan Dugaan Korupsi Pengadaan Fingerprint di Kejari Lebak Masih Mandeg
Sementara itu, upaya untuk konfirmasi kepada WH, penyedia fingerprint lainnya dari CV. AI melalui sambungan telepon seluler dan aplikasi pesan WhatsAppnya belum direspon.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan mark - up (kemahalan harga) pengadaan absensi elektronik (fingerprint) sebanyak 900 sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Lebak yang dibiayai dari dana BOS tahun 2018, banyak mendapat sorotan publik karena belum jelas progres penanganannya di Kejari Lebak. (Gun/TN1)