SERANG, TitikNOL – Pemindahan rekening umum kas daerah (RKUD) Pemprov Banten dari Bank Banten ke Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), perlu dilakukan untuk menyelamatkan kas daerah (Kasda). Sebab, likuiditas Bank Banten belakangan memburuk sementara Pemprov membutuhkan dana untuk pemenuhan berbagai kewajiban.
Gubernur Banten Wahidin Halim mengatakan, pemindahan RKUD dilakukan karena Bank Banten telah terjadi gagal bayar sejak 14 April lalu. Terdapat dana bagi hasil dari pemerintah pusat dan dana itu akan segera digelontorkan ke kabupaten/kota namun hingga sepekan berikutnya Bank Banten tetap tidak bisa.
Melihat kondisi itu, jika pemprov biarkan dan tidak pindahkan RKUD maka bukan hanya Kasda yang belum tentu nasibnya, tapi dana masuk baik dari pusat maupun daerah Rp7-12 miliar per hari juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, Bank Banten membiayai utangnya, membiayai pengambilan dari nasabah.
"Ditambah bantuan anggaran lainnya yang sudah kami geser, refocusing untuk covid itu kami butuhkan dalam waktu cepat," katanya.
Mantan Wali kota Tangerang dua periode itu menegaskan, pemindahan RKUD pun sejatinya menjadi wewenang kepala daerah.
"Enggak perlu persetujuan, baca undang-undang, baca Permendagri (peraturan Mendagri) bahwa gubenrur sebagai kepala daerah boleh memindahkan kepada bank yang sehat," ungkapnya.
Terkait adanya isu yang berkembang terjadinya rush atau penarikan besar-besaran di Bank Banten oleh masyarakat sebagai respon masyarakat dari pemindahan rekening umum kas daerah (RKUD) ke Bank Jawa Barat dan Banten (BJB), WH membantahnya.
"Dalam perkembangan terakhir seiring dengan Covid-19, terjadi penarikan. Ada salah satu pemegang saham yang punya deposit diambil Rp500 miliar sebelum saya memindahkan RKUD. Sebelum menyatakan apapun," tuturnya.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten Rina Dewiyanti mengatakan, pengalihan RKUD dari Bank Banten kepada BJB dilakukan oleh Gubernur Banten pada 22 April 2020. Saat itu Bank Banten sudah tidak dapat menyalurkan dana yang diajukan bendahara umum daerah (BUD) karena telah mengalami kondisi likuiditas kritis.
"Dengan demikian menghapus anggapan bahwa terpuruknya Bank Banten disebabkan oleh pengalihan RKUD, justru sebaliknya. Penyebab dari RKUD dialihkan karena Bank Banten terlebih dahulu mengalami kesulitan likuiditas yang kritis," ujarnya.
Mantan Kepala BPKAD Kabupaten Lebak itu menjelaskan, pemindahan RKUD bukan tidak beralasan. Tetapi didasarkan fakta bahwa Bank Banten terlambat menyalurkan dana bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota untuk Januari 2020 senilai Rp190 miliar lebih. Kemudian juga Bank Banten tidak dapat menyalurkan dana bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota untuk periode Februari 2020 senilai Rp181,61 miliar lebih.
"Selain itu di tengah gencarnya penanganan covid-19 Bank Banten juga tidak dapat memenuhi tagihan pihak ketiga. Salah satunya untuk pengadaan alat-alat kesehatan sebesar Rp11,21 miliar lebih," katanya.
Dengan memperhatikan fakta seperti tersebut, kata dia, maka gubernur mengambil langkah cepat dan tepat dalam upaya menyelamatkan dana kas daerah. Sekaligus juga melakukan upaya penyelamatan Bank Banten.
"Keputusan memindahkan dana RKUD dari Bank Banten ke Bank BJB menjadi pilihan buruk dari yang terburuk dalam rangka menjalankan perintah perundang-undangan. Sebab jika tidak dilakukan, maka potensi kehilangan dana kas daerah yang akan tertahan di Bank Banten akan semakin besar," ungkapnya.
Lebih lanjut dipaparkan Rina, kondisi Bank Banten sebenarnya pihaknya telah mendapatkan laporannya. Berdasarkan surat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tertanggal 15 November 2019, lalu hasil penilaian tingkat kesehatan Bank Banten posisi 30 Juni 2019 adalah tergolong peringkat komposit 3 atau cukup sehat.
"Namun demikian keadaan ini kian memburuk dan mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar. Hal ini tercermin dalam laporan keuangan Bank Banten pada posisi laporan tanggal 21 April 2020, dimana diketahui rasio likuiditas menjadi sangat mengkhawatirkan. Lalu juga tidak efisien karena beban bunga lebih besar dari pada pendapatan bunga yang diperoleh. Hal ini memicu penarikan dana deposan oleh masyarakat," tuturnya.
Kondisi itu juga didukung oleh fakta jika pada periode Maret sampai dengan pertengahan April 2020 atau sebelum terjadi pemindahan RKUD-red, telah terjadi penarikan deposito besar-besaran oleh masyarakat.
"Termasuk deposan inti hingga mencapai angka Rp1,7 triliun. Hal inilah yang menjadikan kondisi likuiditas Bank Banten semakin kritis," ujarnya.
Rina menegaskan, pemindahan RKUD juga pada dasarnya merupakan peristiwa yang biasa dan sering dilakukan oleh seorang kepala daerah jika bank umum selaku pemegang RKUD lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya. Seandainya penyimpanan RKUD berada di bank yang lain atau bukan pada Bank Banten, kemudian dilakukan pemindahan, mungkin tidak akan menjadi persoalan yang berpolemik.
“Maka dari itu pemindahan RKUD di Provinsi Banten dari Bank Banten adalah pemindahan RKUD yang spesial. Ada permasalahan yang sangat pelik yang dihadapi Gubernur Banten selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan selaku pemegang saham pengendali terakhir pada Bank Banten," paparnya.
Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah harus tetap menjaga ketersediaan kas daerah. Sehingga memastikan tidak menghambat proses pembangunan dan harus mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak.
"Sedangkan gubernur selaku pemegang saham pengendali terakhir pada Bank Banten juga harus menjaga komitment untuk menjadikan Bank Banten memiliki kondisi yang sehat," ujarnya. (**)