SERANG, TitikNOL – Artikel ini ditulis oleh Dewi Hartini yang menyuguhkan kritik legitimasi politik gender perspektif Soekarno terhadap pendidikan politik perempuan jelang Pemilu 2024.
Pemikiran Soekarno tentang perempuan memberikan kontribusi besar pada perjuangan perempuan.
Hal itu terbukti dari lahirnya karya dari buah tangan dengan buku Sarinah yang berisi buah pemikiran Soekarno tentang perempuan.
Dari buku Sarinah ini, Soekarno memberikan kontribusi besar pada nasib perempuan. Pandangannya tentang penindasan perempuan dan perjuangan yang harus dilakukan oleh kaum perempuan, diungkapkan dalam buku Sarinah.
Tetapi ketika semua masyarakat mengagumi perhatian Soekarno yang besar kepada nasib perempuan, kontribusi pemikiran Soekarno tentang perempuan mulai diragukan ketika ia menikah dengan Hartini.
Soekarno mengajak kaum laki-laki untuk ikut serta memikirkan soal perempuan. Karena masalah perempuan ada, karena tindakan kaum laki-laki yang memperlakukan pingitan terhadap perempuan.
Menurut Soekarno, masalah perempuan yang terjadi merupakan masalah yang sama tuanya dengan soal masyarakat dan negara.
Soal perempuan dikatakan jadi problem bagi masyarakat, karena masalah perempuan merupakan tanggung jawab bersama.
Masyarakat harus bertanggungjawab dengan nasib perempuan, karena kaum perempuan hidup dalam lingkungan masyarakat yang membudayakan pingitan terhadap perempuan.
Budaya pingitan kepada perempuan harus segera dihapus, agar kaum penduduk perempuannya bisa bebas menghirup indahnya lingkungan luar rumah yang selama ini membelenggu.
Kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal perempuan ini. Marilah kita memikirkan masalah perempuan ini bersama-sama dengan kaum perempuan.
Sebab di dalam masyarakat sekarang ini saja, melihat bahwa terkadang kaum laki-laki terlalu Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai kaum perempuan.
Dia, kaum laki-laki, dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi memikirkan dan memecahkan soal-soal semacam ini.
Dia lah kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk mengambil keputusan.
Sedang kaum perempuan tidak diajak ikut bicara dan cenderung disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh kaum laki-laki itu.
Tidakah misalnya janggal, bahwa soal tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan ke dalam pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis laki-laki saja.
Sedang pihak perempuan tidak ditanya pendapatnya sama sekali. Sesungguhnya, kita harus belajar insyaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara (Soekano, Buku Sarinah :1963).
Sejarah mencatat pada masa perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh–tokoh perempuan Indonesia secara responsif mengambil peran strategis untuk kemajuan bangsa.
Bahkan menjadi pemimpin masa perjuangan seperti, Nyi Ageng Serang, R.A Kartini, Raden Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien dan lainnya.
Meskipun tantangan para pejuang perempuan Indonesia dihadapkan pada persepsi sosial yang membelenggu yaitu sistem patriarki.
Regulasi Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Politik
Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya dalam struktur pemerintahan dan hukum merupakan mandat konstitusi pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan lain dapat ditemukan dalam instrumen hukum nasional, misal dalam pasal 46 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Isinya menyebutkan: “sistem pemilihan umum, kepartian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan”.
Pergerakan politik perempuan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.
Termasuk pasca reformasi lahir komisi negara independen atau “state auxiliaries bodies” yang fokus di isu perempuan, yaitu Komnas Perempuan yang didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasrkan Kepres No. 181 Tahun 1998 yang kemudian diperbaharui oleh Perpres No. 65 dan 66 Tahun 2005.
Dalam konteks kepemiluan diterbitkannya UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Aggota DPR, DPD dan DPRD yang menetapkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif (lihat pasal 65 ayat 1).
Kemudian disempurrnakannya melalui dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini dipekuat eksistensinya dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action), dalam lembaga penyelenggara pemilu ataupun dalam kesempatan menjadi kontestan elektoral (kandidat/calon legisalatif).
Bahkan untuk kandidasi tersebut, kebijakan afirmatif tersebut dilengkapi dengan sistem zipper sebagimana diatur dalam Pasal 246 ayat (2).
Oleh karena itu, instrumen norma telah memberi ruang bagi perempuan untuk mengambil bagian peran pada lembaga politik di republik ini, dengan tanpa pengecualian.
Namun tantangan dan hambatan internal yang masih membelenggu mindset perempuan atas masih jarang adanya pendidikan politik bagi perempuan, yang dapat membangun kesadaran perempuan itu sendiri.
Urgensi Pendidikan Politik Bagi Perempuan
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Selain itu, pada era pemerintahan orde baru, semangat perjuangan untuk menyetarakan kedudukan keadalian gender lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Bahkan Indonesia juga mengirimkan wakil untuk bergabung di dalam Komite CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Komite tersebut bertugas mengawal pelaksanaan hasil konvensi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tentang nilai-nilai kesetaraan, yang diisi oleh wakil dari berbagai negara di dunia.
Kemudian, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, Indonesia diantaranya pernah diwakili oleh Ida Soekaman (1987), Prof. Dr. Ir. Pudjiwati Sajogyo (1987-1990), Prof. Dr. Sunaryati Hartono (1995-1998), dan Sjamsiah Achmad (2001-2004).
Hal ini menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam mengawal isu kesetaraan.
Kemudian di era reformasi, Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Maka atas penjelasan di atas, peran perempuan harus mendapatkan porsi yang setara dengan melalui fungsi kelembagaan, baik pemerintah maupun partai politik dalam peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan.
Dalam pengamatan, pemerintah nasional maupun daerah telah menunjukan komitmen dalam pembangunan kapasitas perempuan serta telah membuka kesempatan bagi perempuan, untuk berkiprah diberbagai bidang khususnya lembaga pemerintahan.
Namun partai politik masih belum memberikan bukti atas keseriusan dalam membuka ruang yang setara pada perempuan.
Padahal peran dan tugas partai politik berdasakan Undang-Undang nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Dijelasakan dengan kegiatan: pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warrga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya poltik.
Pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Sedangkan menurut Kartaprawira (1988), pendidikan politik merupakan upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.
Hal itu sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi.
Berdasarkan fakta bahwa pada Pemilu 2019 dengan kursi 575 anggota tersebut, hanya ada sebesar 20,5 persen keterwakilan perempuan, meski meningkat dari Pemilu sebelumnya sebesar 17 persen.
Namun belum mencapai angka 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen terutama di Provinsi Banten juga belum memenuhi harapan.
Bahwa caleg perempuan yang terpilih hanya 15 orang dari 85 anggota DPRD Banten.
Oleh sebab itu, partai politik seharusnya memiliki road map pendidikan atau kaderisasi yang efektif dalam peningkatan kapasitas bagi perempuan, untuk berkiprah dalam bidang politik di republik ini. (TN3)