Jum`at, 22 November 2024

MK Tidak Boleh Tutup Mata Mengenai Kecurangan Pilkada

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Dok: rayapos)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Dok: rayapos)

JAKARTA, TitikNOL - Pusat studi konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas Charles menilai, aturan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat ambang batas persentase selisih suara Pilkada yang bisa diadili di MK akan berdampak pada terhentinya proses sengketa Pilkada.

Padahal, kata Charles, persoalan utama dalam Pilkada adalah mengurangi kecurangan yang terjadi. Sebab, dengan kecurangan dapat mempengaruhi persentase selisih suara.

Untuk itu, ia meminta kepada MK agar tidak tutup mata mengenai kecurangan-kecurangan Pilkada yang diadukan ke lembaga konstitusi tersebut.

"Kita kan tidak tahu kejadian apa yang terjadi di balik selisih itu. Apalagi, sekarang masih macam-macam aja kecurangan dalam Pilkada. Sederhana aja, semuanya itu pelaku pelanggaran, mau yang menang atau kalah itu sama, pelaku pelanggaran. Jadi MK jangan tutup mata dengan hal ini," ujar Charles dalam diskusi dengan tema Peran MK dalam Mewujudkan Keadilan Substansial, Jakarta, Kamis (2/3/2017).

"Jadi pas pemeriksaan pendahuluan itu, masuklah sedikit ke para pemohon itu, karena bisa dilihat alat bukti segala macam. Jangan tutup mata begitu aja. Apalagi sekarang orang-orang udah susah percaya Panwaslu, aparat penegak hukum. Jadi MK ini adalah jalan terakhir," lanjutnya.

Charles menambahkan, peraturan ambang batas yang bisa diajukan antara rentang 0,5 sampai 2 persen dapat diterapkan tetapi harus juga ada kebijakan untuk menelurusi bukti-bukti kecurangan awal dalam Pilkada.

"Kita sebenarnya pembatasan itu tidak apa-apa, karena kita engga mau juga MK jadi tempat sampah. Jadi sebenarnya angka ini silakan saja tapi jangan ketat. Harus ada pertimbangan MK terhadap kondisi-kondisi yang tadi. Untuk bisa memberikan bukti-bukti di awal ya kecurangan itu, kenapa tidak. Silakan aja, tapi ada exceptional lah. Jangan sampai hanya pendekatan formil saja," tandasnya.

Diketahui, ambang batas sengketa suara tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan peraturan MK Nomor 1 tahun 2017 tentang pedoman beracara dalam pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan umum (PHPUD).

Berdasarkan pasal 158 UU Pemilu, yang berhak diajukan ke MK yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

Pilkada Provinsi:
1. Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Pilkada Kabupaten/Kota:
1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen. (Bara/Rif)

Komentar