SERANG, TitikNOL - Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomnasPA) Provinsi Banten menduga adanya kejanggalan dalam putusan bebas Pengadilan Negeri Serang terdakwa MS (46) yang terlibat kasus kekerasan seksual terhadap anaknya.
Ketua KomnasPA Provinai Banten, Hendry Gunawan, menjelaskan dugaan kejanggalan menyusul adanya surat perdamaian antara korban dengan terdakwa pada 9 Mei 2024 yang dilanjutkan penarikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lada 7 September 2024.
"Ini agak janggal, ada surat perdamaian antara korban dengan pelaku pada tanggal 9 Mei 2024, lalu korban menarik BAP pada tanggal 7 September 2024. Kalau sudah ada perdamaian, dapat disimpulkan bahwa benar ada kejadian, maka diupayakan lah ada perdamaian," kata Hendry Gunawan kepada Titiknol.co.id.
Dia menilai putusan tersebut tidak hanya mencederai rasa keadilan bagi korban tetapi juga menjadi pukulan berat bagi perjuangan melindungi anak-anak yang rentan.
"Kami menilai keputusan ini dapat menjadi preseden buruk yang melemahkan upaya pemberantasan kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal dari negara dan masyarakat," kata Hendry kepada Titiknol.co.id , Senin (20/01/2025).
Dia cemas putusan bebas kasus tersebut bisa menciptakan preseden buruk yang membahayakan anak di masa depan.
"Para predatkr anak bisa saja melihat keputusan ini sebagai celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai langkah dab pertimbangan yang diambjl sebagai yurisprudensi untuk membela diri dalam kasus serupa," ujarnya.
Hendry menyebut putusan bebas yang dijatuhkan pada 16 Januari 2025 itu menjadi ancaman serius yang harus diperhatikan publik, termasuk aparat penegak hukum hingga para pengambil kebijakan.
"Keputusan ini tentu memberikan sinyal yang salah bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat lolos dari jerat hukum dengan menggunakan taktik yang mengaburkan fakta dan menciptakan keraguan terhadap korban. Misalnya, pencabutan laporan, perdamaian yang tidak sahih, dan argumen-argumen manipulatif lainnya berpotensi dijadikan alat pembelaan oleh pelaku kekerasan di kemudian hari," ucapnya.
Kami ingin menyoroti beberapa hal penting yang menunjukkan betapa keputusan ini kurang mencerminkan keberpihakan kepada korban.
Melalui perspektifnya, KomnasPA menduga pertimbangan bahwa korban melaporkan kejadian ini karena rasa cemburu terhadap ibu tirinya sungguh tidak masuk akal.
"Anak yang mengalami kekerasan, terutama dari figur otoritas seperti ayah kandung, biasanya merasa takut dan enggan untuk berbicara. Fakta bahwa korban berani mengungkapkan kejadian ini kepada pamannya, yang kemudian mendampingi korban membuat laporan, menunjukkan adanya dasar yang kuat atas pengaduan tersebut. Alasan cemburu jelas tidak sebanding dengan risiko besar yang harus dihadapi korban ketika melaporkan kasus ini," jelasnya.
Selanjutynya, dikarakan Hendry, perdamaian antara korban dan pelaku tidak dapat dijadikan dasar pembenaran hukum. Dalam kasus ini, relasi kuasa antara ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban sangat nyata, terlebih dengan situasi di mana ibu kandung korban telah meninggal dunia.
"Perdamaian tersebut patut dicurigai sebagai hasil tekanan, bukan keputusan sukarela dari korban. Lebih jauh, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tegas menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Perdamaian semacam ini tidak seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum," tuturnya.
Dia menambahkan, pencabutan BAP oleh korban juga tidak semestinya dijadikan alasan untuk menghentikan proses hukum.
"Kekerasan seksual terhadap anak adalah delik biasa, yang artinya aparat penegak hukum tetap berkewajiban memproses kasus meskipun korban mencabut laporannya. Pencabutan ini harus dilihat lebih jauh, apakah dilakukan dengan sukarela atau akibat adanya intimidasi, bujuk rayu, atau tekanan dari pelaku atau pihak lain. Hubungan keluarga antara korban dan pelaku menjadi elemen yang sangat rentan untuk dimanfaatkan sebagai sarana mempengaruhi korban," ungkapnya.
KomnasPa Banten juga melihat hasil kesimpulan visum et repertum yang menyatakan bahwa luka yang ditemukan bukan akibat perbuatan terdakwa melainkan oleh pihak lain, perlu untuk didalami.
"Kesimpulan ini memerlukan penjelasan ilmiah yang lebih mendalam. Apakah pemeriksaan telah dilakukan dengan standar yang kredibel dan tidak hanya berdasarkan pengakuan, yang bisa saja dihasilkan dari intimidasi? Selain itu, visum et psikiatrikum tentu bisa menjadi bagian dari pembuktian lainnya dalam melengkapi dan untuk menggambarkan kondisi psikologis korban dan memastikan tidak ada celah yang melemahkan perlindungan bagi korban," ujarnya.
Kendati demikian Hendry percaya bahwa keadilan untuk anak-anak tidak hanya tentang tegaknya hukum, tetapi juga tentang menjaga harapan dan keberanian mereka. "Semoga kasus ini membuka mata kita semua untuk terus memperkuat perlindungan terhadap anak-anak dan memastikan suara mereka tidak pernah diabaikan," pungkasnya. (RZ/TN)