SERANG, TitikNOL - Fenomena eksploitasi sumber air tanah tanpa izin di Banten tengah ramai menjadi pemberitaan, menyusul pengakuan Hotel Aston Serang Convention Center, kini Aktivis buka suara mengenai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) pada salah satu rumah sakit di Kota Serang.
Direktur Eksekutif Satya Peduli Banten, Sojo Dibacca, yang mengaku sebagai pemerhati lingkungan menyoroti temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2023 atas laporan keuangan Pemerintah Kota Serang, Nomor 35.A/LHP/XVIII.SRG/05/2024, tanggal 13 Mei 2024.
Sojo menjelaskan dalam catatannya, BPK RI menyebut dari hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap 20 WP Pajak Air Tanah Tahun 2023 menunjukkan terdapat 1 Wajib Pajak (WP) yang belum memiliki SIPA, dan 5 WP yang telah
memiliki SIPA namun telah berakhir masa berlakunya. Dalam tabel yang dimuat pada berkas itu tertulis Rumah Sakit SA yanh diduga kuat sebagai Sari Asih Serang tertulis tidak memiliki Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (SIPA).
"Tidak hanya tercatat tidak memiliki SIPA. Rumah sakit itu juga diduga mengalami selisih pembayaran pajak air tanah akibat Pemerintah Kota Serang menerapkan NPA (Nilai Perolehan Air Tanah, red) secara flat setiap bulannya. Juga ditulis penetapan dalam SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah,red) masih lebih kecil dari volume pengambilan maksimal yang diizinkan dalam SIPA. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai Pajak Air Tanah yang ditetapkan dalam SKPD tidak memiliki dasar perhitungan yang valid," kata Sojo, Jumat (05/07/2024).
Lebih lanjut, Sojo menuturkan, Badan Pendapatan Keuangan Daerah (Bapenda) Kota Serang menetapkan volume air secara flat sebesar 1.150 meter kubik setiap bulannya, sementara itu lebih kecil jika dibanding perhitungan berdasarkan pedoman yang mencapai 1.800 kubik perbulan dengan kapasitas pompa 5 meter kubik. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Walikota Serang Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pajak Air Tanah.
"Dari catatan BPK RI, jika penghitungan NPA nya sesuai pedoman maka rumah sakit tersebut seharusnya membayar pajak air tanah Rp68.962.549, di mana realisasinya hanya Rp32.009.236, sehingga selisih Rp36.953.313," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut Humas Sari Asih Serang, Agus Ramdhani, menepis pernyataan BPK RI pada LHP dimaksud. Ia menyatakan tegas bahwa tempatnya bekerja memiliki SIPA yang baru diperpanjang pada 2022, dan baru habis di 2025 mendatang.
"Ini berkasnya izinnya (sambil menunjukan sebagian berkas SIPA pendaftaran ulang, red). Kita ada izinnya dari DPMPTSP Provinsi Banten. Kami patuh terhadap aturan. Pajak juga bayar," kata Agus diwawancara di ruang kerjanya.
Terkait penggunaan air tanah di Rumah Sakit Sari Asih, Agus berujar volumenya tidak sebanyak mal dan hotel. Dirinya juga meyakini persoalan perizinan SIPA juga dialami oleh rumah sakit lainnya di Kota Serang.
"Kenapa BPK bisa menuliskan itu (LHP, red). Seharusnya ada sumbernya ya? Seharusnya kalau ada temuan dari BPK atau sebagainya, pemerintah langsung bersurat atau nyamperin ke sini, ke perusahaan. Intinya kalau izin kami ada," pungkasnya.