Minggu, 20 Oktober 2024

Nih, Poin Krusial Revisi UU Pilkada

Ilustrasi revisi undang-undang pilkada. (Dok:net)
Ilustrasi revisi undang-undang pilkada. (Dok:net)

JAKARTA, TitikNOL - Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy mengungkapkan ada tujuh poin krusial dalam pembahasan revisi Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang ditargetkan selesai pada 29 April 2016.

"Pertama, Soal penerapan e KTP sebagai DPT. Kami mendorong agar tidak terjadi lagi komplain dan persoalan di soal DPT ini dengan cara 100 persen harus menggunakan e KTP," katanya di Jakarta, Selasa, (19/4/2016).

Tetapi, kata Lukman, hal itu sangat tergantung dari Kementerian Dalam Negeri khususnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil dalam hal kesiapan program e KTP itu sendiri.

Lalu, poin kedua terkait syarat minimal calon independen dan calon parpol, perdebatannya pada sisi mau melakukan penyederhanaan pilkada sebagai instrumen konsolidasi demokrasi atau memakai instrumen membuka seluasnya partisipasi publik. Menurut dia, implikasinya secara teknis adalah menurunkan angka treshold atau menaikkannya.

Poin ketiga, soal kewenangan Penyelenggaraan Pilkada (KPUD dan Bawaslu), mendorong tugas-tugas yang tidak substansial dihilangkan dari tugas KPU dan Bawaslu.

"Seperti tugas memasang alat peraga kampanye sepatutnya dikembalikan kepada paslon, sehingga lebih semarak dan tidak membebani anggaran negara. Begitu juga Bawaslu, seharusnya lebih effektif menindak pelanggaran pilkada," ucapnya.

Poin keempat, terkait peradilan pilkada, reevaluasi terhadap Sentra Gakumdu, pelanggaran pidana dan administrasi pilkada. Dia mendorong penegakkan hukum terhadap pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana harus kuat melalui perbaikan mekanisme peradilannya.

"Selama ini mekanisme Sentra Gakumdu menjadi titik lemah penegakkan hukum. Hampir tidak ada satupun kasus pelanggaran yang diproses," tuturnya.

Wakil Sekretaris Jenderal PKB itu menilai seharusnya pelanggaran administratif dengan sanksi diskualifikasi terhadap paslon bisa effektif menangkal nakalnya paslon. Dia mendorong kasus politik uang harus dua dimensi, bisa dimensi administratif dan dimensi pidana, sehingga benar-benar mempunyai efek jera.

"Kelima, terkait membuka partisipasi paslon dari semua unsur. Kami sudah konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi, bahwa lebih bagus membuka ruang selebarnya tanpa diskriminatif kepada semua SDM bangsa utk terlibat dalam rekruitmen pemimpin daerah," paparnya.

Hal itu menurut dia, anggota legislatif, pejabat negara, PNS, TNI/POLRI terbuka kesempatan untuk menjadi paslon tanpa kewajiban mundur dari jabatannya, yang diatur hanya cuti kampanye diluar tanggungan negara.

Poin keenam menurut dia, terkait syarat calon incumben, seharusnya bangsa dan negara ini tidak lagi memberi tempat kepada kepala daerah yang gagal dalam membangun daerahnya untuk mencalonkan kembali.

"Negara harus intervensi membuat rambunya, kami mengusulkan mekanisme izin bagi incumben yang mau maju kembali," jelasnya.

Masih kata dia, izin diberikan oleh presiden sebagai kepala negara, dengan ukuran yang jelas seperti keberhasilan membangun SDM (IPM), membangun infrastruktur, mengatasi kemiskinan, pemyerapan anggaran APBD dan indeks pelayanan publik.

Poin ketujuh, terkait waktu tahapan pilkada, tahapan yang ada sebelumnya harus dipangkas, terutama soal masa kampanye yang panjang dan waktu dalam proses peradilan pilkada. (Bar/red)

Komentar